Kisah yang tercatat dalam Kitab 1 Raja-raja pasal 14 ayat 21 membuka lembaran baru dalam sejarah Israel, yaitu pemerintahan Rehabeam, putra dari raja yang paling bijaksana, Salomo. Ayat ini memberikan gambaran ringkas namun penting mengenai awal masa jabatannya, termasuk usianya saat dinobatkan dan lama pemerintahannya. Rehabeam menjadi raja di Yehuda, kerajaan selatan, setelah terpecahnya kerajaan Israel yang bersatu di bawah ayahnya.
Usia Rehabeam yang empat puluh satu tahun saat menjadi raja menunjukkan bahwa ia telah mencapai kedewasaan. Namun, kedewasaan usia tidak selalu berbanding lurus dengan kedewasaan dalam memimpin. Sejarah selanjutnya mencatat bahwa masa pemerintahan Rehabeam tidaklah gemilang. Ia mewarisi tahta dalam kondisi yang sudah retak akibat perpecahan kerajaan. Keputusan-keputusannya, terutama yang dipengaruhi oleh para penasihat muda, menjadi katalisator bagi perpecahan yang lebih dalam.
Perintah tujuh belas tahun di Yerusalem, kota yang dipilih Allah sendiri, adalah kesempatan baginya untuk menegakkan keadilan dan kesetiaan kepada Tuhan. Yerusalem bukan sekadar ibu kota politik, melainkan pusat spiritual bangsa Israel. Keberlangsungan ibadah dan ketaatan kepada hukum Allah sangat bergantung pada kepemimpinan raja. Namun, ironisnya, masa pemerintahan Rehabeam justru diwarnai dengan kemurtadan dan penyembahan berhala, yang bertentangan dengan perintah-perintah TUHAN.
Nama ibunya, Naama orang Amon, juga patut mendapat perhatian. Latar belakang ibunya yang berasal dari bangsa lain (Amon) mungkin memberikan pengaruh budaya dan keagamaan yang berbeda. Meskipun bukan berarti secara otomatis negatif, namun dalam konteks sejarah Israel, keterlibatan bangsa asing sering kali membawa tantangan dalam menjaga kemurnian iman dan ketaatan kepada perjanjian dengan Allah.
Kisah Rehabeam ini memberikan pelajaran berharga tentang warisan kepemimpinan dan tanggung jawab pribadi. Sebagai anak Salomo, ia seharusnya memiliki akses terhadap kebijaksanaan yang luar biasa. Namun, ia memilih untuk tidak mendengarkan nasihat para tua-tua yang berpengalaman, melainkan terpengaruh oleh kaum muda yang kurang bijak. Ini menunjukkan bahwa warisan dan latar belakang yang baik saja tidak cukup; pilihan pribadi dalam menanggapi nasihat dan menghadapi tantanganlah yang menentukan.
Perpecahan kerajaan menjadi dua, Yehuda di selatan dan Israel di utara (di bawah kepemimpinan Yerobeam), adalah konsekuensi langsung dari ketidakbijaksanaan Salomo di akhir hayatnya dan ketidakmampuan Rehabeam untuk menyatukan kembali bangsa. Ayat ini, meskipun singkat, menjadi titik awal untuk memahami dekadensi moral dan spiritual yang melanda kerajaan Yehuda di masa-masa berikutnya..
Nama "Rehabeam" sendiri memiliki arti yang mungkin relevan, yaitu "rakyat telah bertambah luas" atau "dia telah memperluas kaumnya". Namun, alih-alih memperluas kerajaan dalam kedamaian dan kemakmuran di bawah Allah, ia justru memimpin ke arah perpecahan dan kesulitan. Ini menjadi pengingat bahwa kepemimpinan yang tidak didasari hikmat ilahi dapat membawa konsekuensi yang jauh lebih luas dari yang dibayangkan.
Kisah Rehabeam sering kali dibaca sebagai sebuah peringatan bagi para pemimpin dan juga bagi setiap individu. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang kuat bukan hanya tentang kekuasaan atau otoritas, tetapi tentang kearifan, integritas, dan yang terpenting, kesetiaan kepada Tuhan. Pemilihan untuk mendengarkan suara kebenaran ilahi atau mengabaikannya adalah sebuah penentu arah yang krusial.
Meskipun ayat 1 Raja-raja 14:21 berfokus pada penobatan Rehabeam, keseluruhan konteks pasal ini dan kitab-kitab selanjutnya melukiskan gambaran yang lebih besar tentang bagaimana pilihan satu orang dapat memengaruhi nasib banyak orang. Keturunan David yang seharusnya memimpin umat dalam ketaatan kepada Allah, justru pada masa Rehabeam mulai menunjukkan penyimpangan yang signifikan. Ini menjadi gambaran awal dari tantangan yang akan dihadapi kerajaan Yehuda dalam mempertahankan identitas spiritualnya di tengah berbagai godaan dunia.
Pada akhirnya, ayat ini mengundang kita untuk merenungkan pentingnya dasar yang kokoh dalam kepemimpinan, baik dalam skala pribadi maupun publik. Membangun di atas fondasi ketaatan kepada Tuhan adalah kunci untuk stabilitas dan keberkahan yang sejati, sebuah pelajaran yang terus relevan sepanjang masa.