Kisah yang terangkum dalam Kitab 1 Raja-raja pasal 22 mempersembahkan sebuah drama kenabian yang penuh ketegangan, memperlihatkan pertarungan antara kebenaran ilahi dan kepalsuan duniawi. Dalam ayat 24, kita menyaksikan sebuah momen krusial di mana seorang nabi palsu, Zedekia bin Kenana, bereaksi keras terhadap Mikha bin Yimla yang menyampaikan firman Tuhan yang sebenarnya. Tindakan fisik penamparan ini bukan sekadar ekspresi kemarahan, melainkan sebuah penolakan terang-terangan terhadap otoritas Tuhan yang diwakili oleh Mikha.
Dalam konteks peristiwa ini, Raja Ahab dari Israel dan Raja Yosafat dari Yehuda sedang bersiap untuk berperang melawan Aram di Ramot-Gilead. Ahab, yang memiliki kecenderungan untuk berpaling dari Tuhan, sangat ingin mengetahui apakah peperangan ini akan berhasil. Ia mengumpulkan para nabinya, yang semuanya berjumlah empat ratus orang. Ironisnya, semua nabi ini memberikan ramalan yang sama: bahwa mereka akan menang. Pesan-pesan ini terdengar harmonis dan memuaskan telinga raja, menciptakan suasana optimisme yang semu. Namun, pesona dan keuntungan pribadi tampaknya lebih mendominasi para nabi ini daripada kesetiaan kepada Tuhan.
Di sinilah peran Mikha bin Yimla menjadi sangat penting. Ia dipanggil sebagai 'orang terakhir' yang memberikan nubuat. Berbeda dengan nabi-nabi lainnya, Mikha awalnya berbicara dalam nada yang sarkastis, menyindir keberhasilan yang telah dinyatakan oleh nabi-nabi palsu. Namun, ketika didesak oleh Ahab untuk berbicara kebenaran demi nama Tuhan, Mikha akhirnya menyampaikan pesan yang sangat berbeda dan memberatkan. Ia melihat visi bahwa Israel akan terpencar di gunung-gunung, seperti domba yang tidak memiliki gembala. Ini adalah gambaran kekalahan total, kehancuran, dan penderitaan.
Reaksi Zedekia, seperti yang tercatat dalam ayat 24, adalah pukulan fisik dan pertanyaan retoris yang menghina. Ia berusaha membungkam Mikha dan meragukan bagaimana Mikha bisa mendapatkan nubuat dari Tuhan. Ini adalah taktik umum para nabi palsu atau penipu: menyerang pribadi pembawa kebenaran, bukan argumennya. Dengan menampar Mikha, Zedekia mencoba menunjukkan bahwa Mikha tidak memiliki hubungan spiritual yang sah dengan Tuhan, dan oleh karena itu, pesannya harus diabaikan. Ia mengklaim bahwa Roh TUHAN ada padanya, sebuah klaim yang sangat berani namun keliru, mengingat pesannya yang kontraproduktif terhadap kehendak ilahi.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya membedakan antara suara kenabian yang sejati dan yang palsu. Suara kenabian yang sejati akan selalu selaras dengan karakter dan kehendak Tuhan, meskipun terkadang pesannya sulit diterima. Sebaliknya, suara kenabian palsu sering kali menyenangkan telinga, memberikan harapan palsu, dan bertujuan untuk melayani kepentingan pribadi atau politik. Dalam dunia modern, tantangan membedakan kebenaran dari kebohongan tetap relevan. Kita perlu selalu menguji setiap klaim, terutama yang menyangkut kebenaran rohani, dengan dasar Firman Tuhan yang kekal, mencari hikmat dan hikmat dari sumber yang terpercaya, dan tidak mudah terintimidasi oleh argumen atau tekanan sosial.
Pengalaman Mikha bin Yimla adalah pengingat bahwa berbicara kebenaran, terutama ketika berhadapan dengan otoritas atau opini yang dominan, bisa jadi sulit dan berisiko. Namun, kesetiaan kepada Tuhan dan pengabdian pada kebenaran-Nya adalah tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan. Ayat ini menjadi ilustrasi kuat tentang perjuangan abadi antara kebenaran dan kebohongan, dan panggilan bagi kita untuk tetap teguh pada kebenaran, bahkan ketika dihadapkan pada penolakan dan permusuhan. Informasi lebih lanjut tentang ayat ini dapat ditemukan dalam studi-studi alkitabiah yang mendalam.