Ilustrasi: Simbol ayat yang mengikat hikmat ilahi.
Ayat 1 Raja-Raja 22:37 menyajikan momen dramatis dan tragis yang mengakhiri riwayat Raja Ahab, salah satu raja Israel yang paling diingat karena penyimpangan rohaninya. Peristiwa ini bukan sekadar catatan sejarah kekalahan militer, melainkan sebuah pelajaran mendalam tentang konsekuensi ketidaktaatan dan keangkuhan. Raja Ahab, meskipun diperingatkan berulang kali oleh Nabi Mikha bin Yimla tentang kejatuhannya di medan perang Ramot-Gilead, memilih untuk mengabaikan firman Tuhan. Ia mengenakan samaran agar tidak dikenali oleh musuh, sebuah tindakan yang menunjukkan keputusasaan dan upaya sia-sia untuk menghindari takdir yang telah ditentukan oleh penguasa alam semesta.
Namun, di tengah hiruk pikuk pertempuran dan keputusasaan Ahab, ayat ini menyoroti satu detail yang sering terlewatkan: teriakan terakhir sang raja. Ketika panah yang dilepaskan "dengan sembarangan" mengenainya, sang raja merasakan penderitaan yang luar biasa. Dalam momen terakhir hidupnya, bukan tentang strategi perang atau sisa kejayaan kerajaannya yang ia pikirkan, melainkan tentang rasa sakit fisiknya. Ia meminta tolong kepada kusirnya di dalam kereta perangnya, "Singkirkanlah aku, sebab aku luka parah." Permohonan ini, meskipun terucap dalam keadaan terdesak, membuka sebuah perspektif baru tentang akhir seorang pemimpin.
Hal ini mengajarkan kita bahwa, terlepas dari status, kekuasaan, atau bahkan status spiritual seseorang, ketika dihadapkan pada kematian dan penderitaan, kita semua kembali menjadi manusia yang rentan. Rasa sakit fisik, ketakutan, dan keinginan untuk diselamatkan adalah naluri dasar yang mengalahkan segala kepura-puraan. Ayat ini mengingatkan kita bahwa di akhir kehidupan, ketika segala sesuatu yang duniawi sirna, yang tersisa adalah kebenaran yang paling mendasar: kerapuhan diri kita.
Lebih jauh lagi, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah ironi yang pahit. Ahab, yang sepanjang hidupnya berusaha menjauh dari kebenaran Tuhan dan lebih mengikuti hawa nafsunya serta pengaruh ratunya, Izebel, akhirnya menemui ajalnya dalam keadaan yang sangat tidak terhormat. Ia tidak mati dalam pertempuran heroik yang membela bangsanya, melainkan terbunuh oleh panah yang tidak disengaja, dan yang paling tragis, ia harus memohon untuk disingkirkan dari medan perang karena luka yang dideritanya. Ini adalah gambaran yang kuat tentang bagaimana hidup tanpa hikmat ilahi seringkali berakhir dalam keputusasaan dan kehinaan.
Meskipun narasi ini terdengar kelam, di dalamnya tersimpan sebuah panggilan untuk merefleksikan hidup kita sendiri. Apakah kita telah hidup dengan bijak? Apakah kita telah mendengarkan suara kebenaran yang membimbing kita menuju jalan yang benar? Ayat 1 Raja-Raja 22:37, dengan caranya yang dramatis, mengundang kita untuk merenungkan bahwa investasi terbesar dalam hidup adalah membangun hubungan yang kokoh dengan Tuhan, karena di saat-saat genting, itulah yang akan memberikan kekuatan dan penghiburan sejati. Kematian mungkin datang tanpa terduga, dan seringkali tidak seperti yang kita bayangkan, namun cara hidup kita sebelum kematianlah yang akan menentukan warisan abadi kita.