Ayat yang kita renungkan hari ini, 1 Raja-raja 22:44, memberikan gambaran singkat namun padat mengenai masa pemerintahan Raja Rehabeam. Pernyataan bahwa ia "tidak melakukan apa yang benar di mata TUHAN, seperti raja-raja Yehuda yang dahulu" mengindikasikan sebuah pola yang menyedihkan. Ini bukan sekadar catatan netral, melainkan sebuah penilaian moral yang mengacu pada standar ilahi. Perbandingan dengan raja-raja Yehuda yang dahulu mengundang kita untuk memahami lebih dalam apa artinya kesetiaan dan ketidaksetiaan di hadapan Tuhan, serta implikasinya bagi sebuah bangsa.
Simbol mahkota yang berkilauan mencerminkan otoritas kerajaan, sementara elemen pertumbuhan hijau melambangkan harapan dan berkat dari kesetiaan kepada Tuhan.
Konteks sejarah dari Kitab 1 Raja-raja menceritakan tentang perpecahan kerajaan Israel setelah kematian Raja Salomo. Kerajaan terbagi menjadi Kerajaan Utara (Israel) dan Kerajaan Selatan (Yehuda). Rehabeam adalah putra Salomo dan raja pertama Kerajaan Yehuda. Perjanjian Tuhan dengan Daud, leluhur Rehabeam, menetapkan bahwa keturunannya akan senantiasa memerintah atas takhta Israel, asalkan mereka setia kepada Tuhan.
Namun, ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa Rehabeam gagal memenuhi standar kesetiaan tersebut. Perintah Tuhan bukanlah sekadar aturan kaku, melainkan prinsip-prinsip yang dirancang untuk kebaikan umat-Nya. Kesetiaan kepada Tuhan mencakup penyembahan yang murni, ketaatan pada hukum-Nya, dan keadilan dalam pemerintahan. Ketika seorang raja, yang diberi mandat ilahi, menyimpang dari jalan ini, dampaknya akan terasa meluas.
Perbandingan dengan raja-raja Yehuda yang dahulu bisa merujuk pada beberapa raja saleh yang memang berusaha menjaga kesetiaan kepada Tuhan, meskipun tidak sempurna. Raja Daud sendiri, meskipun memiliki kelemahan, sering kali dianggap sebagai tolok ukur kesetiaan yang patut dicontoh, meskipun ia pun membuat kesalahan fatal. Raja Hizkia atau Yosia kemudian juga menjadi contoh raja-raja yang membawa pemulihan melalui kesetiaan mereka. Rehabeam, sebaliknya, tampaknya jatuh ke dalam kesombongan dan penyembahan berhala, mengikuti jejak yang lebih gelap.
Kegagalan Rehabeam menunjukkan bahwa kepemimpinan yang tidak berakar pada kebenaran ilahi akan cenderung mengikuti jalan yang salah. Ini bisa berarti mendorong rakyat untuk berbuat dosa, mengabaikan kebutuhan yang tertindas, atau mengutamakan kepentingan pribadi di atas kehendak Tuhan. Ironisnya, ketidaksetiaan ini justru melemahkan fondasi kerajaannya sendiri, yang pada akhirnya akan berkontribusi pada kehancuran Yehuda di kemudian hari.
Pelajaran dari 1 Raja-raja 22:44 sangat relevan bagi kita hari ini. Kita mungkin tidak seorang raja, tetapi kita semua memiliki peran dalam komunitas kita, keluarga kita, dan yang terpenting, di hadapan Tuhan. Apakah kita hidup sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran yang telah Dia tetapkan? Apakah kita berusaha menjaga kesetiaan dalam setiap aspek kehidupan kita, dalam perkataan, perbuatan, dan pikiran kita? Sejarah Rehabeam mengingatkan kita bahwa kompromi dengan kejahatan atau kelalaian terhadap firman Tuhan akan selalu membawa konsekuensi negatif. Sebaliknya, kesetiaan yang teguh kepada Tuhan adalah fondasi yang kuat untuk kehidupan yang berarti dan membawa berkat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Kesetiaan bukanlah sebuah pilihan sekali jadi, melainkan sebuah perjalanan yang berkelanjutan. Ayat ini mendorong kita untuk terus memeriksa hati dan langkah kita, memastikan bahwa kita berjalan di jalan yang benar di mata Tuhan, meneladani mereka yang saleh, dan menghindari kesalahan yang membawa kehancuran. Biarlah kita selalu merindukan untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya, menjadikan kesetiaan sebagai kompas utama dalam setiap aspek kehidupan kita.