Kisah yang tercatat dalam Kitab 1 Raja-raja pasal 3, ayat 19, menjadi salah satu momen paling ikonik dalam sejarah kepemimpinan. Ayat ini menggambarkan inti dari sebuah peristiwa yang menguji kedalaman kebijaksanaan dan keadilan Raja Salomo, yang baru saja naik takhta menggantikan ayahnya, Daud. Peristiwa ini bukan sekadar sebuah persidangan, melainkan sebuah panggung yang menampilkan bagaimana Salomo dapat membedakan kebenaran di tengah kepalsuan.
Dalam kejadian tersebut, dua orang perempuan yang bekerja sebagai pelacur datang ke hadapan Salomo. Keduanya mengaku sebagai ibu dari seorang bayi laki-laki yang hidup, sementara bayi perempuan lain yang bersama mereka telah mati. Pertarungan sengit terjadi ketika keduanya bersikeras bahwa bayi yang hidup adalah anak kandung mereka, dan bayi yang mati adalah milik perempuan yang lain. Dalam situasi yang tampaknya mustahil untuk ditentukan, Salomo dihadapkan pada sebuah dilema yang membutuhkan lebih dari sekadar hukum tertulis; ia membutuhkan pemahaman mendalam tentang hati manusia.
Menanggapi klaim yang saling bertentangan ini, Salomo memberikan perintah yang terdengar brutal dan tidak berperikemanusiaan: "Perintahku inilah: Engkau harus membahagiakan seorang anak itu ke dalam dua potong, dan berikanlah separuh kepada yang seorang dan separuh lagi kepada yang lain." Perintah ini, di luar dugaan, bukanlah sebuah keputusan akhir, melainkan sebuah strategi cerdas. Salomo tidak benar-benar berniat membelah bayi itu. Sebaliknya, ia menggunakan perintah ini sebagai alat untuk mengungkap ibu kandung yang sesungguhnya.
Reaksi dari kedua perempuan itu seketika membedakan mereka. Satu perempuan, yang didorong oleh naluri keibuan sejati dan cinta yang mendalam, memohon agar bayi itu diserahkan kepada perempuan yang lain saja, asalkan nyawa sang bayi terselamatkan. Ia rela kehilangan anaknya demi melihatnya hidup. Di sisi lain, perempuan yang lain justru menyetujui perintah Salomo, menyarankan agar bayi itu dibelah saja, karena ia berpikir jika tidak bisa menjadi miliknya, lebih baik juga tidak menjadi milik perempuan itu. Kontras reaksi ini dengan jelas menunjukkan mana yang merupakan ibu sejati.
Salomo, dengan kebijaksanaannya yang dianugerahkan oleh Tuhan, segera mengenali di balik permohonan perempuan pertama itu adalah cinta seorang ibu yang murni. Ia kemudian memerintahkan agar bayi yang hidup diserahkan kepada perempuan itu, karena ia adalah ibu kandungnya. Peristiwa ini tidak hanya menyelesaikan perselisihan, tetapi juga memberikan pengajaran berharga bagi seluruh bangsa Israel tentang pentingnya kebijaksanaan dalam mengambil keputusan dan keadilan yang sesungguhnya.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa keadilan sejati seringkali bukan hanya tentang penerapan hukum secara kaku, tetapi juga tentang memahami konteks, motivasi, dan yang terpenting, tentang kasih. Salomo membuktikan bahwa kebijaksanaan yang bijaksana, yang berpadu dengan pemahaman hati, adalah fondasi dari pemerintahan yang adil dan bijaksana. Kisah ini terus menjadi inspirasi tentang bagaimana mencari solusi yang paling tepat, bahkan dalam situasi yang paling rumit sekalipun, dengan mengutamakan kebenaran dan kesejahteraan.