1 Raja-raja 3:26 - Hikmat yang Membedakan

"Maka tersentuhlah hati raja oleh karena anaknya itu, lalu berkatalah ia: 'Aku akan berikanlah anak yang hidup itu kepada perempuan itu, janganlah dibunuh ia!' Tetapi perempuan yang lain itu berkata: 'Janganlah ia menjadi milikku atau milikmu, tetapi bunuhlah ia!' Maka yang lain menyahut: 'Berikanlah anak yang hidup itu kepada perempuan itu, asalkan jangan dibunuh.'"

Ikon Hikmat

Kisah yang tercatat dalam 1 Raja-raja 3:16-28 mengisahkan tentang kebijaksanaan luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada Raja Salomo. Peristiwa ini bukan hanya menjadi bukti kebesaran hikmat ilahi, tetapi juga memberikan pelajaran mendalam tentang kasih, keadilan, dan bagaimana membedakan kebenaran di tengah klaim yang saling bertentangan.

Dalam ayat 26 ini, kita melihat puncak dari sebuah pengadilan yang tidak biasa. Dua perempuan, keduanya mengaku sebagai ibu dari seorang bayi yang sama, datang menghadap Salomo. Cerita mereka sungguh tragis: salah satu bayi telah meninggal saat mereka tidur di kamar yang sama. Perdebatan sengit pun terjadi, masing-masing bersikeras bahwa bayi yang hidup adalah miliknya. Dalam situasi yang sangat emosional dan penuh kepedihan ini, Salomo dihadapkan pada tugas yang nyaris mustahil: menentukan ibu biologis yang sebenarnya.

Keputusan Salomo yang terkenal, yaitu menyuruh membelah bayi hidup menjadi dua agar masing-masing mendapatkan separuh, bukanlah sebuah tindakan kekejaman yang disengaja. Sebaliknya, itu adalah sebuah strategi brilian untuk mengungkap kebenaran yang tersembunyi. Tujuannya adalah untuk melihat reaksi alami kedua perempuan tersebut. Kepada ibu yang sejati, kasih keibuan yang murni akan membangkitkan respons naluriah untuk melindungi kehidupan anaknya, bahkan jika itu berarti harus melepaskan klaim kepemilikannya.

Dan memang, itulah yang terjadi. Perempuan pertama, yang hatinya "tersentuh oleh karena anaknya itu," tidak mampu menahan penderitaan mendengar ancaman terhadap nyawa buah hatinya. Ia memilih untuk menyerahkan bayi itu kepada perempuan lain demi menyelamatkan hidupnya. Ini adalah manifestasi kasih yang tanpa pamrih, sebuah bukti cinta ibu yang lebih besar daripada keinginan untuk memiliki.

Sebaliknya, perempuan yang lain menunjukkan reaksi yang sangat berbeda. Ia menyetujui pembagian, bahkan berseru, "Janganlah ia menjadi milikku atau milikmu, tetapi bunuhlah ia!" Tindakan ini dengan jelas mengungkapkan bahwa ia bukanlah ibu kandung. Keinginannya bukanlah untuk memiliki anak, melainkan untuk memastikan agar ibu yang sebenarnya tidak mendapatkan kembali anaknya. Ia lebih rela anak itu mati daripada jatuh ke tangan orang lain, sebuah sikap yang didorong oleh kedengkian dan kebohongan.

Ayat 26 ini menjadi penentu. Melalui hikmat ilahinya, Salomo mampu melihat apa yang tersembunyi di balik kata-kata dan klaim. Ia mendeteksi kebenaran dalam tangisan dan kepedihan seorang ibu yang tulus, serta kepalsuan dalam ketidakpedulian dan kekejaman yang terbungkus dalam keinginan.

Kisah ini mengajarkan kita pentingnya memiliki hikmat untuk menembus permukaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada situasi yang kompleks dan klaim yang membingungkan. Seperti Salomo, kita perlu mencari pemahaman yang lebih dalam, yang mampu membedakan antara apa yang tulus dan apa yang pura-pura, antara cinta sejati dan kepalsuan. Hikmat, yang bersumber dari Allah, adalah kunci untuk membuat keputusan yang adil dan penuh kasih, serta untuk menemukan kebenaran di tengah keraguan.