"Ia telah menjadi sombong, sedikitpun ia tidak mengerti apa-apa, tetapi sakit keras kepala dan berdebat soal kata-kata, yang berasal dari kepadanya iri hati, perselisihan, fitnah, kejahatan yang curiga."
Simbolik: Kepala yang tertutup awan keraguan, namun ada titik terang nasihat bijak.
Ayat 1 Timotius 6:4 memberikan sebuah peringatan yang sangat relevan bagi kehidupan beriman. Paulus, melalui suratnya kepada Timotius, menyoroti bahaya yang mengintai ketika seseorang kehilangan kerendahan hati dan mulai terjerumus dalam kesombongan rohani. Kerohanian yang sejati seharusnya memampukan kita untuk terus belajar dan bertumbuh, bukan malah merasa sudah mencapai puncak kebenaran mutlak. Kesombongan adalah akar dari banyak kesalahpahaman dan perselisihan dalam komunitas orang percaya.
Ketika seseorang "sedikitpun ia tidak mengerti apa-apa" meskipun merasa tahu segalanya, ini menunjukkan adanya kekosongan rohani yang tersembunyi di balik retorika yang menggebu-gebu. Rasa superioritas intelektual atau rohani seringkali menjadi tameng bagi ketidakpahaman yang mendalam. Seseorang yang demikian cenderung terpaku pada hal-hal sepele, terjebak dalam perdebatan yang tidak membangun, dan mengutamakan "sakit kepala dan berdebat soal kata-kata". Fokusnya beralih dari kebenaran ilahi yang esensial kepada nuansa-nuansa linguistik atau teologis yang dangkal, yang akhirnya justru menjauhkan dari esensi iman yang sesungguhnya.
Paulus secara tegas menyatakan bahwa sumber dari perilaku ini adalah "iri hati, perselisihan, fitnah, kejahatan yang curiga". Ini adalah buah-buah yang sangat kontras dengan buah Roh yang seharusnya menjadi ciri khas pengikut Kristus, seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri (Galatia 5:22-23). Iri hati terhadap orang lain yang mungkin terlihat lebih diberkati atau lebih maju dalam iman memicu perselisihan. Perselisihan kemudian membuka pintu bagi fitnah dan gosip yang merusak nama baik sesama. Dan di balik semua itu, tersimpan kejahatan yang curiga, yaitu kecurigaan yang terus-menerus terhadap motivasi dan integritas orang lain.
Oleh karena itu, ayat ini menjadi sebuah panggilan untuk senantiasa menguji hati dan pikiran kita. Apakah kita masih memiliki kerendahan hati untuk belajar? Apakah fokus kita tertuju pada Kristus dan firman-Nya, atau pada perdebatan yang tidak penting? Apakah kita membangun atau merusak relasi dengan sesama melalui perkataan kita? Jauhkan diri dari sifat-sifat yang disebutkan Paulus, dan pupuklah hati yang penuh kasih, kerendahan hati, dan keinginan tulus untuk memahami kebenaran firman Tuhan. Ini adalah jalan menuju pertumbuhan rohani yang sehat dan hubungan yang harmonis dalam tubuh Kristus.
Mari kita renungkan nasihat ini dan berupaya hidup sesuai dengan kebenaran yang diajarkan, bukan hanya sekadar berdebat tentang kata-kata. Sumber kesesatan seringkali berawal dari hati yang tidak murni dan motivasi yang keliru. Dengan menjaga hati kita tetap bersih di hadapan Tuhan, kita dapat terhindar dari jebakan ajaran sesat dan hidup dalam kebenaran.