2 Raja-Raja 17:33

"Mereka memberi perintah kepada TUHAN, dan mereka menyembah tuhan-tuhan mereka menurut kebiasaan bangsa-bangsa dari mana mereka diangkut."

Simbol Kebijaksanaan dan Jalan Lurus

Ayat 2 Raja-Raja 17:33 menyajikan sebuah potret kepatuhan yang keliru, sebuah fenomena yang terus bergema sepanjang sejarah manusia dan bahkan relevan hingga saat ini. Ayat ini berbicara tentang bangsa-bangsa yang dipindahkan oleh raja Asiria ke Samaria setelah menaklukkan Kerajaan Israel utara. Mereka, meskipun ditempatkan di tanah yang baru, tidak serta merta meninggalkan semua tradisi lama mereka. Sebaliknya, mereka membawa serta praktik keagamaan mereka, mencampuradukkannya dengan cara mereka berhubungan dengan TUHAN yang dikenal oleh penduduk asli. Frasa kunci di sini adalah "Mereka memberi perintah kepada TUHAN, dan mereka menyembah tuhan-tuhan mereka menurut kebiasaan bangsa-bangsa dari mana mereka diangkut." Ini bukan tentang kesetiaan yang tulus atau pencarian kebenaran, melainkan tentang adaptasi budaya yang dangkal dan sinkretisme agama.

Tindakan ini mencerminkan sebuah kecenderungan manusiawi yang mendalam: keinginan untuk merasa nyaman, untuk berpegang pada apa yang dikenal, bahkan ketika dihadapkan pada realitas baru dan perintah ilahi. Alih-alih belajar dan tunduk sepenuhnya kepada TUHAN yang adalah Pencipta dan Penguasa alam semesta, mereka mencoba untuk mengelola hubungan mereka dengan-Nya seperti mereka mengelola hubungannya dengan dewa-dewa lain. Seolah-olah TUHAN bisa diatur, ditempatkan dalam kategori yang sama dengan berhala-berhala asing yang mereka kenal. Mereka mengikuti kebiasaan lama mereka, yaitu menyembah berbagai entitas dewa yang merupakan bagian dari budaya asal mereka, sambil secara bersamaan juga mengakui keberadaan TUHAN. Namun, pengakuan ini tidak disertai dengan penyerahan diri yang total.

Hal ini membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat ibadah yang sejati. Ibadah yang berkenan kepada Tuhan bukanlah sekadar ritual yang mengikuti tradisi atau kebiasaan, melainkan sebuah respons dari hati yang tulus, penuh hormat, dan ketaatan. Ayat ini memperingatkan kita untuk tidak mengikuti jalan yang sama, yaitu mencampuradukkan ajaran-ajaran yang berbeda atau mencoba untuk menyenangkan banyak pihak sekaligus dalam hal iman. Ketika kita mencoba untuk menyembah Tuhan dan pada saat yang sama memegang erat kebiasaan-kebiasaan duniawi yang bertentangan dengan kehendak-Nya, kita sebenarnya tidak menyembah-Nya dengan benar. TUHAN menuntut kesetiaan yang utuh, hati yang terbagi tidak akan pernah bisa menyenangkan Dia.

Konteks historis dari ayat ini juga sangat penting. Bangsa Israel sendiri telah berulang kali jatuh ke dalam dosa yang serupa, yaitu menyembah berhala dan mencampuradukkan ibadah mereka. Pembuangan mereka ke Babel dan kembalinya mereka menjadi pengingat keras akan konsekuensi dari ketidaktaatan dan kemurtadan. Dalam kasus bangsa-bangsa yang dipindahkan ke Samaria, TUHAN akhirnya menghukum mereka dengan mengirimkan singa-singa yang membunuh mereka, sebagai respons terhadap ketidakpedulian mereka terhadap hukum-Nya. Ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak dapat ditipu atau dipermainkan. Dia adalah Tuhan yang kudus dan pencemburu.

Pesan dari 2 Raja-Raja 17:33 adalah ajakan untuk refleksi diri yang mendalam. Apakah kita benar-benar menyembah TUHAN dengan segenap hati dan jiwa kita, ataukah kita hanya mengikuti kebiasaan tanpa pemahaman yang mendalam? Apakah kita mengizinkan pengaruh-pengaruh duniawi untuk merusak kemurnian iman kita? Kebenaran ilahi yang kekal menuntut pengabdian yang tanpa kompromi. Biarlah kita belajar dari kesalahan bangsa-bangsa ini dan memilih jalan kesetiaan yang tulus kepada Tuhan, serta menyembah Dia dalam roh dan kebenaran, bukan hanya sekadar mengikuti tradisi yang sudah ada tanpa makna yang sesungguhnya.