"Sampai sekarang mereka melakukan seperti yang dahulu: bukan takut kepada TUHAN, bukan melakukan ketetapan-Nya atau peraturan-Nya atau hukum-Nya atau perintah-Nya, yang diperintahkan TUHAN kepada keturunan Yakub, yang telah diberi-Nya nama Israel."
Ayat dari Kitab 2 Raja-raja pasal 17 ayat 34 ini memberikan sebuah gambaran yang jujur dan kadang kala pahit tentang keadaan umat Tuhan pada masa itu. Frasa kunci "Sampai sekarang mereka melakukan seperti yang dahulu" mengindikasikan sebuah pola perilaku yang terus berulang, sebuah kebiasaan yang mendarah daging. Ini bukan sekadar catatan historis semata, melainkan sebuah peringatan dan refleksi yang relevan bagi kita di masa kini. Ayat ini secara lugas menyatakan bahwa bangsa Israel, yang seharusnya menjadi umat pilihan Tuhan, pada periode tertentu dalam sejarah mereka, terus menerus mengabaikan Tuhan mereka. Mereka tidak takut kepada TUHAN, tidak berpegang pada ketetapan-Nya, peraturan-Nya, hukum-Nya, maupun perintah-Nya. Sebuah daftar yang panjang dan jelas tentang kegagalan mereka dalam menjalankan relasi yang benar dengan Sang Pencipta.
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang asing. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali mendapati diri kita atau orang-orang di sekitar kita terjebak dalam rutinitas yang sama, kebiasaan yang sama, bahkan ketika kita tahu kebiasaan itu tidak membawa kebaikan. Dalam konteks spiritual, ini berarti kita bisa saja terus menerus mengaku beriman, menghadiri ibadah, namun hati kita jauh dari ketakutan akan Tuhan. Ketakutan di sini bukanlah rasa ngeri yang melumpuhkan, melainkan rasa hormat yang mendalam, kesadaran akan keagungan dan kekudusan-Nya, yang mendorong kita untuk hidup sesuai kehendak-Nya. Ketika rasa hormat ini hilang, kita menjadi rentan terhadap godaan, terhadap mengikuti arus dunia yang seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip ilahi.
Ketidaktaatan yang diuraikan dalam 2 Raja-raja 17:34 tidak hanya bersifat sporadis, tetapi telah menjadi sebuah sistem kehidupan. "Bukan takut kepada TUHAN, bukan melakukan ketetapan-Nya..." menunjukkan sebuah penolakan aktif terhadap otoritas Tuhan dalam kehidupan mereka. Mereka tidak lagi melihat Tuhan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup, melainkan memilih jalan mereka sendiri, jalan yang seringkali diwarnai dengan penyembahan berhala dan praktik-praktik yang menjijikkan di mata Tuhan. Ini adalah konsekuensi logis dari hilangnya fondasi spiritual yang kuat. Ketika Tuhan tidak lagi menjadi pusat, maka nilai-nilai yang lain akan mengambil alih, dan seringkali nilai-nilai tersebut tidak sesuai dengan kebenaran kekal.
Namun, di balik gambaran kegagalan ini, tersirat juga sebuah pesan harapan yang kuat. Ayat ini menceritakan tentang ketidaksetiaan manusia, tetapi Kitab Suci secara keseluruhan berbicara tentang kesetiaan Tuhan yang tidak pernah berubah. Meskipun umat-Nya seringkali berpaling, Tuhan tetap setia pada perjanjian-Nya. Dia tetap memberikan kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Refleksi terhadap 2 Raja-raja 17:34 seharusnya mendorong kita untuk memeriksa kehidupan kita sendiri. Apakah kita benar-benar takut akan Tuhan? Apakah kita dengan tulus hati mematuhi perintah-perintah-Nya? Atau apakah kita juga telah terjebak dalam pola "melakukan seperti yang dahulu," yaitu hidup tanpa penghormatan yang seharusnya kepada Tuhan?
Penting untuk diingat bahwa Tuhan telah memberikan kepada kita hukum-hukum-Nya bukan untuk membatasi kebebasan kita, melainkan untuk membimbing kita kepada kehidupan yang penuh berkat dan makna. Ketetapan dan peraturan-Nya adalah peta jalan menuju kehidupan yang harmonis, baik secara pribadi, sosial, maupun rohani. Ketika kita mengabaikan perintah-Nya, kita sebenarnya sedang menjauhkan diri dari sumber kehidupan sejati. Ayat ini mengingatkan kita bahwa kegagalan untuk menjalankan hubungan yang benar dengan Tuhan memiliki konsekuensi yang serius, bahkan bisa berujung pada kehancuran. Namun, kabar baiknya adalah, Tuhan itu pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Dia selalu membuka pintu bagi kita untuk kembali kepada-Nya. Mari kita gunakan ayat ini sebagai momentum untuk mengevaluasi kembali komitmen kita kepada Tuhan, dan memutuskan untuk hidup dalam ketaatan yang penuh kasih dan sukacita, bukan karena paksaan, tetapi karena kesadaran akan kebesaran dan kebaikan-Nya.