"Bagaimanakah mungkin aku dapat menolak muka tuanku, jika tuan-tuanku mengirim tujuh ratus kuda, dan aku mempunyai dua puluh ribu orang berjalan kaki? Memasang kuda-kuda itu dengan apakah akan kuperbuat?"
Ayat dari 2 Raja-Raja 18:24 membawa kita pada sebuah momen dramatis dalam sejarah Israel, di mana kepemimpinan raja Hizkia diuji. Pada masa itu, Kerajaan Asyur, di bawah kekuasaan raja Sanherib, menjadi kekuatan dominan yang menindas bangsa-bangsa di sekitarnya. Sanherib mengirimkan utusannya yang dipanggil Rabshakeh, beserta rombongan besar, untuk menantang dan menghina Hizkia serta umat Allah. Rabshakeh datang dengan maksud menakut-nakuti dan meruntuhkan semangat Israel untuk melawan. Ia berbicara dengan congkak, memamerkan kekuatan Asyur yang tak tertandingi, dan meremehkan kepercayaan Israel pada TUHAN.
Dalam ayat ini, kita mendengar respons dari para pejabat Hizkia, yang diajukan oleh Rabshakeh. Pertanyaannya adalah sebuah retorika yang mengejek, menyoroti betapa mustahilnya bagi Hizkia untuk dapat menolak tuntutan Sanherib, terutama ketika mereka memiliki pasukan yang sangat besar dan kuda-kuda perang yang tak terhitung jumlahnya. Rabshakeh menantang, "Bagaimanakah mungkin aku dapat menolak muka tuanku, jika tuan-tuanku mengirim tujuh ratus kuda, dan aku mempunyai dua puluh ribu orang berjalan kaki? Memasang kuda-kuda itu dengan apakah akan kuperbuat?" Kalimat ini mencerminkan ketakutan dan ketidakpercayaan yang ditanamkan oleh kekuatan militer Asyur.
Namun, di balik nada ejekan dan ancaman itu, tersirat sebuah kebenaran penting yang sering kali terabaikan dalam situasi yang penuh tekanan. Ayat ini bukanlah sekadar gambaran peperangan atau ketakutan. Ia adalah kesaksian tentang bagaimana Allah bekerja melalui berbagai cara, bahkan dalam situasi yang tampaknya tanpa harapan. Hizkia, meskipun dihadapkan pada kekuatan yang luar biasa, memilih untuk bersandar pada TUHAN, Sang Raja Agung. Ia tidak bersandar pada kekuatan kuda atau jumlah pasukan, melainkan pada janji dan kuasa ilahi.
Kebaikan Allah dinyatakan dalam bagaimana Ia mempersiapkan umat-Nya. Meskipun Hizkia mungkin merasa kecil di hadapan Sanherib, ia tahu bahwa kekuatannya berasal dari sumber yang jauh lebih besar. Alkitab sering kali menunjukkan bahwa kemenangan tidak selalu datang dari kekuatan fisik semata, tetapi dari iman yang teguh. Ayat 2 Raja-Raja 18:24 ini mengingatkan kita bahwa ketika kita menghadapi tantangan yang terasa tak dapat diatasi, kita dipanggil untuk melihat melampaui keterbatasan kita sendiri dan mengarahkan pandangan pada Allah. Kebaikan dan kuasa-Nya selalu cukup untuk membimbing dan melindungi umat-Nya, bahkan ketika dunia di sekitar kita bergejolak. Kisah Hizkia akhirnya menjadi bukti bahwa kepercayaan kepada TUHAN, bahkan di tengah ancaman terbesar, akan mendatangkan pertolongan dan kemenangan yang berasal dari surga.