"Sudah adakah dari antara segala dewa bangsa-bangsa yang telah meluputkan negeri mereka dari tangan raja Asyur?"
Ayat yang tercatat dalam 2 Raja-Raja 18:33 merupakan bagian dari percakapan dramatis antara juru bicara raja Sanherib dari Asyur dengan para pejabat Hizkia, raja Yehuda. Sanherib sedang mengepung Yerusalem, dan juru bicaranya mencoba menggoyahkan iman rakyat Yehuda dengan merendahkan Allah mereka, membandingkannya dengan dewa-dewa bangsa lain yang telah ditaklukkan Asyur. Pertanyaan retoris ini, "Sudah adakah dari antara segala dewa bangsa-bangsa yang telah meluputkan negeri mereka dari tangan raja Asyur?", dimaksudkan untuk menunjukkan ketidakberdayaan Allah Israel di hadapan kekuatan militer Asyur yang perkasa.
Namun, di balik nada meremehkan dari juru bicara Asyur, terkandung pengakuan yang tidak disengaja tentang keunikan dan kekudusan Allah Israel. Sang juru bicara secara implisit mengakui bahwa dewa-dewa bangsa lain memang tidak mampu melindungi umat mereka dari penaklukan Asyur. Ini menunjukkan bahwa dewa-dewa tersebut pada dasarnya adalah berhala, tidak memiliki kuasa sejati, dan keberadaan mereka hanya bersifat lokal atau terikat pada kekuasaan duniawi. Mereka tidak dapat memberikan perlindungan ilahi yang permanen atau mutlak.
Berbeda dengan dewa-dewa bangsa lain, Allah Israel bukanlah sekadar entitas politik atau pelindung sementara. Dia adalah Pencipta langit dan bumi, Penguasa alam semesta, dan Yang Mahakuasa. Pertanyaan ini, meskipun diucapkan dengan maksud jahat, justru menyoroti perbedaan fundamental antara Allah yang benar dengan ilah-ilah palsu. Kekuatan Asyur, betapapun hebatnya di mata manusia, adalah kekuatan duniawi yang tunduk pada rencana-rencana ilahi yang lebih besar. Kemenangan Asyur atas bangsa-bangsa lain bukanlah bukti kelemahan Allah Israel, melainkan mungkin bagian dari cara Allah mendisiplinkan umat-Nya atau menghukum bangsa-bangsa yang berdosa.
Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak pernah membandingkan Allah yang Mahakudus dengan kekuatan atau dewa-dewa duniawi. Berhala-berhala modern bisa berupa kekayaan, kekuasaan, status, atau bahkan pemikiran manusia yang menentang kebenaran ilahi. Semua hal ini pada akhirnya akan sirna dan tidak mampu memberikan perlindungan atau makna sejati dalam menghadapi kedaulatan Allah yang kekal. Pertanyaan Sanherib, yang kini kita renungkan kembali, menjadi pengingat bahwa hanya Allah Yang Mahatinggi yang memiliki kuasa mutlak atas segala sesuatu. Pengakuan akan kebenaran ini adalah fondasi iman yang teguh.