Ayat 2 Raja-raja 18:4 mencatat salah satu tindakan penting yang dilakukan oleh Raja Hizkia pada masa pemerintahannya di Kerajaan Yehuda. Setelah naik takhta, Hizkia segera memulai serangkaian reformasi rohani yang radikal dan komprehensif. Salah satu langkah pertamanya adalah menyingkirkan berbagai bentuk penyembahan berhala dan praktik keagamaan yang telah merajalela di Yehuda selama pemerintahan raja-raja sebelumnya. Tindakan ini menunjukkan komitmennya yang mendalam untuk mengembalikan ibadah yang murni kepada TUHAN.
Secara spesifik, Hizkia menghancurkan tugu-tugu berhala yang mungkin berupa mezbah-mezbah asing atau patung-patung dewa-dewi lain yang disembah. Ia juga memotong tiang-tiang Asyera, yang merupakan objek penyembahan yang umum di antara bangsa-bangsa Kanaan dan diadopsi oleh Israel. Tiang-tiang ini sering kali dikaitkan dengan ritual kesuburan yang sesat dan penyembahan dewi yang bernama Asyera.
Yang paling menarik perhatian adalah tindakan Hizkia yang memusnahkan ular tembaga yang dibuat oleh Musa. Ular tembaga ini awalnya dibuat atas perintah TUHAN sendiri ketika bangsa Israel sedang menderita karena gigitan ular berbisa di padang gurun. TUHAN memerintahkan Musa untuk membuat ular tembaga dan menaruhnya di atas tiang, dan siapa pun yang memandangnya akan sembuh (Bilangan 21:4-9). Namun, seiring berjalannya waktu, ular tembaga ini telah disalahgunakan. Orang Israel mulai mempersembahkan korban kepadanya, menjadikannya objek penyembahan. Mereka bahkan memberinya nama, "Nehustan," yang mungkin berarti "benda tembaga" atau "sesuatu dari tembaga," sebagai penekanan pada materi fisiknya yang telah disakralkan secara keliru.
Tindakan Hizkia mencerminkan pemahaman yang benar tentang hukum TUHAN. Ia menyadari bahwa benda yang diciptakan sebagai alat pertolongan ilahi bisa saja disalahgunakan dan menjadi objek kesesatan. Menghancurkan Nehustan adalah langkah penting untuk memulihkan ibadah yang berpusat hanya pada TUHAN Yang Maha Esa, bukan pada objek atau ritual yang telah kehilangan makna aslinya. Ini adalah pengingat bahwa kesetiaan kepada TUHAN membutuhkan kewaspadaan terus-menerus terhadap segala bentuk penyimpangan, bahkan yang berasal dari tradisi atau barang yang dulunya memiliki makna rohani.
Reformasi Hizkia ini menjadi fondasi bagi pemulihan spiritual yang lebih luas di Yehuda, yang puncaknya adalah perayaan Paskah yang besar dan pembaharuan perjanjian dengan TUHAN. Kisah ini menggarisbawahi pentingnya menjaga kemurnian ibadah dan selalu kembali kepada ajaran Kitab Suci sebagai sumber kebenaran.