"Maka jawab raja: "Jikalau TUHAN tidak menolong engkau, dari manakah aku dapat menolong engkau? Dari lumbung korban, atau dari tempat pemerasan anggur?"
Kisah yang tercatat dalam kitab 2 Raja-raja pasal 6 ini menghadirkan sebuah momen krusial yang memperlihatkan kedalaman iman seorang hamba di tengah keputusasaan dan ketakutan yang melanda. Pada ayat 27, kita mendapati dialog antara raja Israel dan hambanya yang sedang menghadapi situasi genting. Kota mereka dikepung oleh pasukan Aram yang berjumlah sangat besar, dan kelaparan mulai melanda. Penduduk kota berada di ambang kehancuran, dan raja sendiri pun merasakan beban berat kepemimpinan di pundaknya.
Dalam kepanikannya, raja bertanya kepada hambanya, "Jikalau TUHAN tidak menolong engkau, dari manakah aku dapat menolong engkau? Dari lumbung korban, atau dari tempat pemerasan anggur?" Pertanyaan ini bukanlah sekadar retorika, melainkan sebuah pengakuan akan keterbatasan kekuatannya sebagai seorang penguasa duniawi. Segala sumber daya kerajaan, kekayaan, dan kekuatan militer yang ia miliki ternyata tidak mampu memberikan solusi ketika ancaman datang dari dimensi yang berbeda. Lumbung korban yang penuh atau hasil panen yang melimpah sekalipun tidak akan berarti apa-apa di hadapan musuh yang begitu dahsyat.
Konteks ayat ini sebenarnya merujuk pada percakapan sebelumnya antara Elisa, nabi Tuhan, dan hambanya. Sang hamba merasa sangat takut ketika melihat pasukan musuh yang mengepung kota. Namun, Elisa mengingatkan hambanya bahwa mereka yang bersama mereka lebih banyak daripada yang bersama musuh. Ketika sang hamba melihat mata fisiknya saja, ia hanya melihat kelemahan dan keputusasaan. Namun, Elisa membukakan matanya untuk melihat dengan mata rohani, yaitu melihat pasukan Tuhan yang siap membela.
Jawaban raja dalam ayat 27 ini adalah sebuah titik balik. Ia menyadari bahwa segala kekuatan dan kekayaan duniawi yang ia miliki tidak ada artinya jika tidak ada pertolongan dari sumber yang lebih tinggi, yaitu Tuhan. Ini adalah pengakuan akan kelemahan manusia dan ketergantungannya pada kuasa Ilahi. Dalam situasi di mana segala upaya manusia tampak sia-sia, harapan satu-satunya adalah campur tangan Tuhan.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa dalam kehidupan, seringkali kita dihadapkan pada situasi yang terasa mustahil untuk diatasi oleh kekuatan kita sendiri. Hutang yang menumpuk, penyakit yang tak kunjung sembuh, masalah keluarga yang pelik, atau kegagalan dalam karier bisa membuat kita merasa putus asa. Sama seperti raja Israel, kita mungkin telah mengerahkan segala kemampuan, menggunakan segala sumber daya, namun jalan keluar masih belum terlihat. Di saat seperti itulah, kita perlu meneladani iman Elisa dan juga mengakui, seperti raja, bahwa pertolongan sejati datang dari Tuhan.
Ketergantungan pada Tuhan bukanlah tanda kelemahan, melainkan sebuah kekuatan terbesar. Ketika kita berserah dan percaya pada-Nya, Ia sanggup melakukan hal-hal yang melampaui pemahaman dan kemampuan kita. Mukjizat dapat terjadi bukan karena kekuatan kita, tetapi karena kasih dan kuasa-Nya. Meminta pertolongan dari Tuhan, seperti yang disiratkan oleh raja dalam firman-Nya, adalah langkah pertama menuju kemenangan, sebuah pengingat bahwa di tengah badai kehidupan, ada Penolong yang tak pernah tidur dan selalu siap sedia bagi mereka yang berseru kepada-Nya.