Ilustrasi: Kehendak TUHAN diungkapkan.
Kisah yang tercatat dalam 2 Raja-Raja 8:9 ini memberikan sebuah gambaran yang kaya akan makna, memperlihatkan momen krusial antara Raja Ben-Hadad dari Aram, sang raja yang sedang sakit, dan Hazael, yang kelak akan menggantikannya. Dialog singkat ini bukan sekadar pertukaran kata, melainkan sebuah panggung di mana ilahi dan manusiawi berinteraksi, mengungkapkan nuansa kekuasaan, kerendahan hati, dan prediksi kenabian.
Pada masa itu, Raja Ben-Hadad telah sakit parah. Ia memanggil pegawainya yang paling dipercaya, Hazael, untuk mengantarkan persembahan kepada Nabi Elisa. Tujuan ini adalah untuk menanyakan apakah ia akan pulih dari penyakitnya. Elisa, sebagai utusan Tuhan, memberikan jawaban yang ambigu, menyatakan bahwa raja akan pulih, namun juga memperingatkan bahwa Tuhan telah menunjukkan kepadanya bahwa raja akan mati. Pernyataan inilah yang kemudian menjadi inti dari percakapan antara Ben-Hadad dan Hazael.
Ungkapan Hazael, "Apakah gerangan hambamu ini, anjing mati, yang dapat melakukan perkara yang besar ini?" (2 Raja-Raja 8:9b), sungguh-sungguh mencerminkan kedalaman kerendahan hatinya yang luar biasa. Frasa "anjing mati" adalah sebuah ungkapan peyoratif yang digunakan untuk merendahkan diri sendiri dalam budaya Timur Tengah kuno. Dalam konteks ini, Hazael sama sekali tidak melihat dirinya memiliki kapasitas atau bahkan keberanian untuk melakukan tindakan yang luar biasa, apalagi tindakan yang bersifat politis dan kejam seperti membunuh rajanya sendiri, sebagaimana yang tersirat dari nubuat Elisa.
Ia benar-benar terkejut dan merasa tidak pantas untuk dihubungkan dengan "perkara yang besar" tersebut. Kerendahan hati ini, meskipun mungkin dipicu oleh ketakutan atau ketidakpercayaan diri, menunjukkan kesadaran akan posisinya sebagai hamba di hadapan seorang raja dan di hadapan Tuhan. Ia tidak merasa memiliki kuasa atas takdir atau kemampuan untuk melakukan intervensi yang begitu drastis.
Respon Raja Ben-Hadad, "TUHAN telah menunjukkan kepadaku bahwa engkau akan menjadi raja atas Aram" (2 Raja-Raja 8:9c), adalah titik balik yang krusial. Raja tidak mendasarkan perkataannya pada kecurigaan atau insting pribadinya, melainkan pada sebuah wahyu ilahi. Ini menunjukkan bahwa raja memahami bahwa takdir dan suksesi kerajaan berada di tangan Tuhan. Ia mengakui bahwa Tuhan berdaulat atas segala bangsa dan pemerintahan, termasuk atas Aram.
Pernyataan ini juga bisa diartikan sebagai pengakuan atas kebenaran nubuat Elisa. Jika Tuhan telah menunjukkan kepadanya bahwa Hazael akan menjadi raja, maka takdir itu tidak dapat dihindari. Ben-Hadad, meskipun sedang sakit dan mungkin dalam keadaan lemah, tetap mempertahankan otoritas ilahi yang diakuinya. Ia tidak melawan kehendak Tuhan, melainkan menyampaikannya kepada Hazael, yang mungkin baginya merupakan sebuah bentuk pelepasan takhta yang dikendalikan oleh ilahi.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa Tuhan memiliki rencana yang jauh melampaui pemahaman dan kemampuan manusia. Meskipun Hazael merasa dirinya tidak mampu, Tuhan telah menetapkan jalannya. Ini adalah pelajaran tentang kedaulatan Tuhan dan bagaimana Dia dapat menggunakan siapa pun untuk mencapai tujuan-Nya, bahkan yang tampaknya tidak mungkin.
Di sisi lain, kerendahan hati Hazael, meskipun pada akhirnya ia menjadi pelaku yang kejam, menunjukkan bahwa perubahan hati dan motivasi bisa terjadi. Pertanyaannya adalah apakah ia akan tunduk pada kehendak Tuhan dengan cara yang benar atau tergelincir dalam ambisi duniawi. Peristiwa ini menjadi pengingat bagi kita untuk selalu merendahkan diri di hadapan Tuhan, mengakui kebesaran-Nya, dan mempercayakan segala rencana kita kepada-Nya, sambil tetap waspada terhadap godaan yang bisa menjauhkan kita dari jalan kebenaran.