"Maka orang Israel melarikan diri ke kemah-kemah mereka. Tetapi mengenai Rechabeam, anak Salomo, ia diserbu oleh Hadoram, yang mengepalai orang-orang yang melakukan rodi, lalu dipukulnya sampai mati oleh orang Israel, sehingga Rechabeam harus cepat-cepat naik kereta lalu melarikan diri ke Yerusalem."
Ayat 2 Tawarikh 10:18 menggambarkan sebuah momen krusial dalam sejarah Kerajaan Israel, yaitu pada masa transisi pasca pemerintahan Raja Salomo. Ayat ini tidak hanya mencatat peristiwa fisik, tetapi juga menyoroti dampak emosional dan politis dari ketidakpuasan rakyat. Rechabeam, putra Salomo, baru saja naik takhta, namun alih-alih disambut dengan damai, ia justru disambut dengan kebencian dan kekerasan. Ketegangan yang telah lama terpendam meledak, dan Rechabeam harus melarikan diri untuk menyelamatkan nyawanya.
Konteks ayat ini adalah penolakan Rechabeam terhadap saran para tua-tua yang bijaksana dan keputusannya untuk mendengarkan nasihat teman-teman mudanya yang lebih keras. Ia mengabaikan keluhan rakyat tentang beban berat yang ditimpakan oleh ayahnya, Salomo, terutama dalam bentuk pajak dan kerja paksa. Ketika perwakilan dari seluruh Israel datang untuk meminta keringanan, Rechabeam menjawab dengan angkuh, "Bapakku telah menjadikan kamu beroleh kuk yang berat, tetapi aku akan menambahnya lagi. Bapakku telah menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan kalajengking." Jawaban inilah yang memicu kemarahan besar di antara suku-suku utara.
Ayat 18 secara spesifik menyoroti reaksi spontan dan brutal dari rakyat. Hadoram, yang ditugaskan untuk memungut upeti, menjadi sasaran kemarahan pertama. Kematiannya adalah simbol dari penolakan total terhadap otoritas yang dianggap menindas. Suku-suku utara, yang merasa tidak diwakili dan diabaikan, kemudian memisahkan diri, membentuk Kerajaan Israel Utara, sementara Yehuda dan Benyamin tetap setia pada Rechabeam di Yerusalem, membentuk Kerajaan Yehuda. Peristiwa ini menandai perpecahan permanen Kerajaan Israel yang pernah bersatu di bawah Daud dan Salomo.
Dari ayat ini, kita dapat memetik beberapa pelajaran penting. Pertama, pentingnya kepemimpinan yang bijaksana dan penuh empati. Mengabaikan kebutuhan dan keluhan rakyat dapat berujung pada konsekuensi yang menghancurkan. Nasihat para tua-tua yang berpengalaman mewakili kearifan yang harus didengarkan, bukan diabaikan demi pandangan kaum muda yang seringkali kurang matang. Kedua, ayat ini menunjukkan betapa cepatnya kemarahan dapat mengobarkan kekerasan dan menyebabkan kehancuran. Ketidakpuasan yang tidak dikelola dengan baik dapat merusak tatanan sosial dan politik.
Secara lebih luas, 2 Tawarikh 10:18 adalah pengingat bahwa fondasi sebuah pemerintahan yang kuat terletak pada keadilan, perhatian terhadap rakyat, dan kebijaksanaan dalam pengambilan keputusan. Perpecahan yang terjadi ini memiliki implikasi jangka panjang bagi bangsa Israel, yang akhirnya melemahkan mereka di hadapan musuh-musuh eksternal. Ayat ini mengajarkan bahwa konsekuensi dari keputusan yang buruk dapat meluas jauh melampaui momen kejadian itu sendiri, bahkan dapat menggoyahkan fondasi sebuah kerajaan.