"Dan di seluruh Israel, tidak ada seorangpun yang menjawab tuanku raja, sebab raja telah memberi perintah kepada Imam Besar Simei dan teman-temannya: 'Pergilah, uruslah rumah TUHAN untuk kepentingan setiap orang menurut keinginan hatinya.' Tetapi jika mereka tidak mendengarkan perkataan raja tentang berhala-berhala mereka, maka tidak ada gunanya mereka mengatakan: 'Mereka yang memimpin seluruh Israel melakukan itu'."
Ayat yang kita renungkan dari 2 Tawarikh 10:19 ini menyoroti momen krusial dalam sejarah Israel, yaitu pecahnya kerajaan bersatu di bawah Raja Salomo menjadi dua kerajaan terpisah. Setelah masa keemasan di bawah pemerintahan Daud dan Salomo, Israel mengalami perpecahan yang dalam. Pemicu utama dari perpecahan ini adalah kebijakan dan sikap Raja Rehabeam, putra Salomo, yang meneruskan kesombongan dan keangkuhan ayahnya dalam menghadapi tuntutan rakyat.
Rakyat Israel, yang dipimpin oleh Yerobeam bin Nebat, datang kepada Rehabeam di Sikhem untuk menuntut agar beban kerja dan pajak yang berat semasa ayahnya diringankan. Mereka menawarkan kesetiaan jika tuntutan tersebut dipenuhi. Namun, alih-alih mendengarkan nasihat para tua-tua yang bijak, Rehabeam memilih untuk mengikuti saran kaum muda yang provokatif, yang menyarankan agar ia bersikap lebih keras daripada ayahnya. Jawaban yang keras dan menolak inilah yang akhirnya memicu kemarahan dan pemberontakan sepuluh suku Israel di utara. Mereka kemudian memisahkan diri dan membentuk Kerajaan Israel Utara, dengan Yerobeam sebagai raja mereka.
Ayat 2 Tawarikh 10:19 secara spesifik menyoroti respons ketidakpedulian yang terjadi. Ketika raja memberikan perintah kepada para imam untuk mengurus bait Allah "untuk kepentingan setiap orang menurut keinginan hatinya," ini menunjukkan kurangnya kendali spiritual dan pengabaian terhadap hukum Allah. Pernyataan bahwa "jika mereka tidak mendengarkan perkataan raja tentang berhala-berhala mereka, maka tidak ada gunanya mereka mengatakan: 'Mereka yang memimpin seluruh Israel melakukan itu'" mengindikasikan bahwa keengganan untuk taat pada kebenaran ilahi, bahkan di tengah-tengah pemimpin yang tampaknya berkuasa, akan berujung pada kehancuran yang tidak terhindarkan.
Peristiwa ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya kepemimpinan yang bijak, mendengarkan suara rakyat, dan yang terpenting, ketaatan pada prinsip-prinsip ilahi. Kesombongan, penolakan terhadap nasihat yang baik, dan pengabaian terhadap firman Tuhan adalah resep untuk kehancuran, baik bagi individu maupun sebuah bangsa. Kerajaan yang terpecah belah ini akhirnya membuka jalan bagi tantangan-tantangan besar di masa depan, termasuk penghukuman ilahi dan pembuangan. Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu introspeksi diri, memohon hikmat dari Tuhan, dan memastikan bahwa keputusan-keputusan kita selaras dengan kehendak-Nya. Kegagalan untuk berpegang pada kebenaran akan membuat segalanya menjadi sia-sia.