2 Tawarikh 10 7: Pelajaran Keadilan dan Kebijaksanaan

"Lalu berkatalah mereka kepadanya: 'Jika pada hari ini engkau mau menjadi hamba kepada bangsa ini, melayaninya dan mengabulkan permintaan mereka, maka baiklah engkau menjawab mereka dengan perkataan yang baik.'"
Kebijaksanaan dan Keadilan Dalam Perkataan yang Baik

Ayat 2 Tawarikh 10:7 menghadirkan sebuah momen krusial dalam sejarah Israel, ketika tuntutan rakyat kepada Rehabeam, putra Salomo, mencapai puncaknya. Ayat ini bukan sekadar catatan historis, melainkan sebuah ajaran mendalam tentang pentingnya kebijaksanaan, keadilan, dan bagaimana cara merespons permintaan rakyat, terutama bagi para pemimpin. Setelah kematian Raja Salomo yang bijaksana, rakyat Israel datang kepada Rehabeam untuk meminta keringanan dari beban kerja dan pajak yang berat yang telah diterapkan ayahnya. Permintaan ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, melainkan akumulasi dari kesulitan yang mereka rasakan.

Penasihat yang lebih tua, yang pernah melayani ayahnya, memberikan nasihat yang penuh dengan hikmat kepada Rehabeam. Mereka menyarankan agar Rehabeam menunjukkan belas kasihan dan memenuhi sebagian dari tuntutan rakyat. "Jika pada hari ini engkau mau menjadi hamba kepada bangsa ini, melayaninya dan mengabulkan permintaan mereka, maka baiklah engkau menjawab mereka dengan perkataan yang baik." Nasihat ini menekankan pentingnya kerendahan hati, pelayanan, dan komunikasi yang bijaksana. Menjadi "hamba" bagi rakyat berarti mengutamakan kebutuhan dan kesejahteraan mereka, serta mendengarkan keluhan mereka dengan empati. Perkataan yang baik bukan hanya sekadar formalitas, tetapi sebuah cara untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan bahwa pemimpin peduli.

Namun, sayangnya, Rehabeam tidak mendengarkan nasihat bijak dari para tetua. Ia justru mengikuti saran dari teman-teman mudanya yang lebih sombong dan gegabah, yang menyarankan agar ia menunjukkan kekuasaan dan ketegasannya dengan cara yang lebih keras. Keputusan ini berujung pada perpecahan kerajaan Israel. Sepuluh suku utara memisahkan diri dan membentuk kerajaan terpisah di bawah pimpinan Yerobeam, sementara Yehuda dan Benyamin tetap setia kepada Rehabeam. Peristiwa ini menjadi pengingat yang kuat bahwa kepemimpinan yang buruk, yang lahir dari kesombongan dan ketidakmampuan untuk mendengarkan, dapat membawa konsekuensi yang menghancurkan.

Pelajaran yang dapat dipetik dari 2 Tawarikh 10:7 sangat relevan hingga kini. Bagi siapa pun yang memegang posisi kepemimpinan, baik dalam keluarga, organisasi, maupun pemerintahan, ayat ini mengingatkan kita akan tanggung jawab besar yang diemban. Keadilan bukan berarti menindas, melainkan memastikan setiap orang diperlakukan dengan adil dan kebutuhan dasar mereka terpenuhi. Kebijaksanaan bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga kemampuan untuk membuat keputusan yang baik, yang mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kesejahteraan orang-orang yang dipimpin.

Lebih dari itu, ayat ini mengajarkan tentang kekuatan komunikasi. Cara kita berbicara, baik dalam memberikan keputusan maupun dalam merespons keluhan, sangat menentukan. Perkataan yang baik, yang disertai dengan tindakan nyata, dapat menenangkan hati, membangun jembatan pemahaman, dan mencegah konflik. Sebaliknya, perkataan yang kasar atau mengabaikan, seperti yang diucapkan Rehabeam kepada rakyatnya, dapat memicu kemarahan dan perpecahan.

Oleh karena itu, mari kita renungkan makna 2 Tawarikh 10:7 dalam kehidupan kita. Marilah kita berusaha untuk menjadi pemimpin yang bijaksana, yang mendengarkan, yang peduli, dan yang selalu berusaha memberikan respons dengan perkataan yang baik, bukan hanya demi kepentingan pribadi, tetapi demi kebaikan bersama dan keberlangsungan harmoni. Menjadi hamba, melayani, dan berbicara dengan baik adalah prinsip-prinsip kepemimpinan yang abadi dan transformatif.