Ayat 2 Tawarikh 13:6 merupakan seruan keras dari Raja Abia (Rehabeam) kepada Yerobeam dan seluruh orang Israel. Pada masa itu, kerajaan Israel telah terpecah menjadi dua: Kerajaan Yehuda di selatan yang dipimpin oleh Rehabeam, dan Kerajaan Israel di utara yang dipimpin oleh Yerobeam. Perpecahan ini adalah konsekuensi dari dosa dan pemberontakan yang terjadi setelah masa pemerintahan Raja Salomo. Yerobeam, yang sebelumnya adalah abdi Salomo, memberontak dan memimpin sepuluh suku utara memisahkan diri.
Seruan Abia dalam ayat ini mengandung dua unsur penting: pengingat akan otoritas dan nasihat, serta tuduhan pengabaian terhadap TUHAN. Ia mengingatkan Yerobeam dan bangsa Israel bahwa seharusnya mereka mendengarkan kepemimpinannya, sebagai penerus takhta Daud dan Salomo. Namun, yang lebih krusial adalah tuduhan bahwa mereka telah meninggalkan TUHAN. Ini menyiratkan bahwa perpecahan dan konflik yang terjadi berakar pada ketidaktaatan spiritual.
Tindakan "meninggalkan TUHAN" bukanlah hal yang sepele dalam narasi Alkitab. Dalam konteks Perjanjian Lama, meninggalkan TUHAN berarti berpaling dari perjanjian, menolak hukum-Nya, dan seringkali mengadopsi praktik-praktik penyembahan berhala dari bangsa-bangsa lain. Hal ini membawa konsekuensi yang merusak, baik bagi individu maupun bangsa secara keseluruhan. Bagi Yerobeam dan suku-suku utara, ini terwujud dalam pembangunan tempat-tempat ibadah alternatif dan idola untuk mencegah rakyatnya pergi ke Yerusalem untuk beribadah.
Ayat ini menyoroti bagaimana penolakan terhadap nasihat ilahi dan pengabaian terhadap TUHAN secara langsung mengarah pada kehancuran, perpecahan, dan peperangan. Abia dengan tegas menyatakan bahwa kepemimpinan yang benar haruslah didasarkan pada ketaatan kepada TUHAN. Sebaliknya, penolakan terhadap firman-Nya hanya akan membawa malapetaka.
Meskipun ayat ini berasal dari konteks sejarah kuno, pesannya tetap relevan hingga kini. Konsep "meninggalkan TUHAN" dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara dalam kehidupan modern. Bagi banyak orang, ini bisa berarti mengabaikan prinsip-prinsip moral dan etika yang bersumber dari ajaran agama, memprioritaskan materi dan kesenangan duniawi di atas nilai-nilai spiritual, atau menolak otoritas kebenaran ilahi dalam pengambilan keputusan.
Seruan Abia adalah pengingat yang kuat bagi para pemimpin dan setiap individu. Kepemimpinan yang efektif dan keberhasilan yang berkelanjutan tidak dapat dicapai dengan mengabaikan sumber kebijaksanaan tertinggi. Sebaliknya, ketaatan kepada prinsip-prinsip ilahi, mendengarkan nasihat hikmat, dan menjaga hubungan yang benar dengan Tuhan adalah fondasi yang kokoh. Sebaliknya, mengabaikan sumber kebaikan dan kebenaran akan selalu membawa pada konsekuensi yang merugikan, baik dalam skala pribadi maupun sosial. 2 Tawarikh 13:6 mengajak kita untuk merefleksikan di mana kita menempatkan kesetiaan kita dan nasihat siapa yang kita pilih untuk diikuti.