"Lalu Asa mendatangkan emas dan perak dari perbendaharaan rumah TUHAN dan dari perbendaharaan rumah raja, lalu mengirimkannya kepada Benhadad raja Aram yang diam di Damsyik, dengan pesan:"
Ayat 2 Tawarikh 16:2 ini menggambarkan sebuah momen krusial dalam pemerintahan Raja Asa dari Yehuda. Dalam konteks Alkitab, Kitab Tawarikh seringkali menekankan kesetiaan umat Allah kepada TUHAN dan konsekuensi dari ketaatan maupun ketidaktaatan. Ayat ini secara spesifik menceritakan tindakan Raja Asa yang tampaknya didorong oleh ketakutan dan kebijakan politik yang kurang bijak, alih-alih bersandar sepenuhnya pada kekuatan ilahi.
Kala itu, Kerajaan Israel terpecah menjadi dua: Kerajaan Yehuda di selatan (termasuk Yerusalem) dan Kerajaan Israel di utara. Raja Asa memerintah Yehuda dengan cukup baik, berusaha menegakkan ibadah yang benar kepada TUHAN. Namun, ancaman datang dari utara. Raja Baesa dari Israel berniat menyerang Yehuda dan membangun benteng di Rama untuk mengendalikan perbatasan. Dalam situasi genting inilah, Asa memilih untuk mencari pertolongan dari pihak luar yang justru tidak seharusnya ia andalkan.
Tindakan Asa mengirimkan persembahan (yang pada dasarnya adalah suap) kepada Benhadad, raja Aram, dimaksudkan untuk membujuk Benhadad agar memutuskan persekutuan dengan Baesa dan malah berbalik menyerang Israel. Ini adalah strategi yang umum dilakukan raja-raja kuno untuk mengamankan diri. Namun, Alkitab mencatat melalui Nabi Hanani bahwa tindakan ini adalah sebuah kesalahan yang serius di mata TUHAN.
Nabi Hanani menegur Asa, "Oleh karena engkau bersandar kepada raja Aram dan tidak bersandar kepada TUHAN, Allahmu, oleh karena itulah tentara raja Aram luput dari tanganmu." (2 Tawarikh 16:7). Inti dari teguran ini adalah bahwa Asa telah mengalihkan kepercayaannya dari sumber kekuatan sejatinya, yaitu TUHAN, kepada kekuatan manusia dan sumber daya duniawi. Padahal, TUHAN memiliki kuasa untuk memberikan kemenangan atau kekalahan, bukan raja Aram.
Ayat ini mengajarkan kita pelajaran penting tentang iman. Pertama, iman sejati berarti bersandar kepada TUHAN dalam segala situasi, terutama ketika menghadapi kesulitan atau ancaman. Menggunakan sumber daya yang diberikan TUHAN untuk mencari pertolongan dari "musuh" yang lain, tanpa berdoa memohon petunjuk dan kekuatan dari TUHAN, adalah bentuk ketidakpercayaan. Kedua, kekuatan sejati tidak datang dari emas dan perak, tetapi dari kedaulatan dan kuasa Allah. Asa memiliki perbendaharaan yang melimpah, namun ia menggunakan sumber daya itu bukan untuk tujuan yang berkenan kepada Allah, melainkan untuk sebuah transaksi politik yang akhirnya justru merugikannya. Ketiga, Tuhan melihat hati dan motivasi kita. Meskipun Asa mungkin berpikir ia melakukan yang terbaik untuk kerajaannya, tindakannya menunjukkan kurangnya keyakinan pada pemeliharaan dan janji Allah.
Akhirnya, kisah Raja Asa ini menjadi pengingat agar kita selalu menguji motivasi kita ketika menghadapi masalah. Apakah kita pertama-tama mencari TUHAN, ataukah kita segera mencari solusi duniawi? Apakah kita percaya bahwa TUHAN sanggup bertindak, ataukah kita merasa kekuatan kita sendiri atau bantuan orang lain adalah satu-satunya jalan? 2 Tawarikh 16:2 mendorong kita untuk menempatkan iman kita kepada Allah di atas segalanya, karena Dialah sumber pertolongan, kekuatan, dan kemenangan yang sejati.