Ayat ini, 2 Tawarikh 16:3, membawa kita pada renungan mendalam mengenai sifat Tuhan dan kekecewaan-Nya terhadap ketidaksetiaan manusia. Di tengah hiruk pikuk kehidupan, di mana kesetiaan seringkali menjadi komoditas yang rapuh, firman ini mengingatkan kita akan standar moral Ilahi yang teguh. Tuhan bukanlah makhluk yang acuh tak acuh terhadap komitmen dan perjanjian yang telah dibuat. Sebaliknya, Ia memelihara dan menghargai kesetiaan, serta menolak segala bentuk pengkhianatan.
Dalam konteks sejarah Israel, ayat ini seringkali dikaitkan dengan tindakan Raja Asa dari Yehuda. Pada masanya, Asa menghadapi ancaman besar dari Kerajaan Israel Utara. Alih-alih sepenuhnya bersandar pada Tuhan, Asa justru melakukan tindakan yang dipandang sebagai bentuk ketidaksetiaan. Ia mengambil perak dan emas dari perbendaharaan Bait Allah dan istananya, lalu mengirimkannya sebagai suap kepada Benhadad, raja Aram, untuk meminta bantuan militernya agar menyerang Israel. Perjanjian yang dibuat oleh leluhurnya dengan Tuhan, yaitu untuk mengandalkan-Nya sepenuhnya, tampaknya dilupakan.
Tindakan Asa ini, meskipun mungkin terlihat pragmatis dan strategis dari sudut pandang duniawi, menunjukkan pergeseran kepercayaan. Ia lebih memilih mengandalkan kekuatan manusia dan kekayaan materiil daripada berserah sepenuhnya kepada kekuatan dan janji Tuhan. Inilah inti dari ketidaksetiaan yang dikutuk dalam ayat ini. Tuhan menginginkan hati yang murni dan bergantung total pada-Nya. Ketika perjanjian kesetiaan itu dilanggar, baik dalam skala pribadi maupun nasional, respon Tuhan adalah ketidakridhaan.
Kata "membenci" dalam terjemahan ini mungkin terdengar keras, namun dalam konteks Kitab Suci, ini menggambarkan keteguhan prinsip Tuhan yang tidak dapat dinegosiasikan. Tuhan tidak membenci pribadi yang berdosa karena Ia mengasihi mereka dan ingin mereka bertobat, namun Ia "membenci" tindakan dosa, kejahatan, dan ketidaksetiaan. Kehendak-Nya adalah kebaikan dan kebenaran, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan itu akan Ia tolak.
Bagi kita hari ini, 2 Tawarikh 16:3 adalah panggilan untuk memeriksa hati kita. Apakah kita benar-benar setia kepada Tuhan dalam segala aspek kehidupan kita? Apakah kita cenderung mencari solusi duniawi terlebih dahulu, ataukah kita menjadikan Tuhan sebagai sumber kekuatan dan perlindungan utama kita? Ketidaksetiaan bisa muncul dalam berbagai bentuk: keraguan, ketakutan yang melumpuhkan, mengikuti keinginan duniawi, atau bahkan mengkhianati nilai-nilai kebenaran demi keuntungan pribadi.
Marilah kita mengingat bahwa kesetiaan kepada Tuhan bukanlah beban, melainkan sumber kehidupan dan berkat yang berkelimpahan. Dengan teguh berpegang pada perjanjian kita dengan-Nya, mengandalkan firman-Nya, dan mencari hikmat-Nya dalam setiap keputusan, kita akan menemukan bahwa kesetiaan kita dijawab bukan dengan murka, melainkan dengan kasih karunia dan perlindungan-Nya yang tak berkesudahan.