"Yehezkiel, anaknya, menjadi raja menggantinya. Setelah ia menjadi raja, ia menguatkan diri dan menghimpun tentara di Yerusalem."
Ilustrasi visual semangat kepemimpinan dan persatuan.
Kisah Raja Yehezkiel dalam kitab 2 Tawarikh memberikan pelajaran berharga mengenai awal pemerintahan yang berlandaskan iman dan persiapan. Ayat pertama dari pasal 17 ini menegaskan sebuah momen penting dalam sejarah Yehuda, yaitu ketika seorang pemimpin baru naik takhta.
"Yehezkiel, anaknya, menjadi raja menggantinya. Setelah ia menjadi raja, ia menguatkan diri dan menghimpun tentara di Yerusalem." Kalimat sederhana ini menyimpan makna mendalam. Penggantian raja seringkali menjadi periode krusial. Periode ini bisa menjadi titik balik, baik menuju kemajuan maupun kemunduran bagi sebuah bangsa. Namun, dalam kasus Yehezkiel, kita melihat sebuah awal yang sangat positif.
Frasa "ia menguatkan diri" menunjukkan sebuah sikap proaktif dan kesadaran akan tanggung jawab yang diemban. Menjadi raja bukanlah sekadar warisan takhta, melainkan sebuah tugas berat yang membutuhkan kekuatan, baik fisik maupun spiritual. Yehezkiel tidak hanya duduk manis, tetapi secara aktif mempersiapkan diri. Ini bisa berarti refleksi diri, doa memohon hikmat ilahi, serta mempelajari pelajaran dari para pendahulunya.
Selanjutnya, "menghimpun tentara di Yerusalem" merupakan langkah strategis yang menunjukkan visi kepemimpinannya. Penguatan militer bukan semata-mata untuk ambisi penaklukan, tetapi lebih kepada upaya menjaga keamanan dan kedaulatan kerajaan dari ancaman eksternal. Yerusalem, sebagai pusat spiritual dan pemerintahan, menjadi basis operasi yang logis. Pengumpulan tentara ini juga bisa diartikan sebagai upaya menyatukan dan mengorganisir sumber daya manusia kerajaan untuk tujuan bersama.
Kombinasi antara penguatan diri dan persiapan militer mengindikasikan bahwa Yehezkiel adalah seorang pemimpin yang realistis. Ia memahami bahwa stabilitas dan kemakmuran kerajaan tidak dapat dicapai tanpa fondasi keamanan yang kokoh. Keputusannya untuk bertindak segera setelah naik takhta menunjukkan ketegasan dan keberanian. Ini adalah ciri khas pemimpin yang tidak menunda-nunda pekerjaan penting.
Kisah ini mengingatkan kita bahwa setiap kepemimpinan yang berhasil seringkali diawali dengan niat yang baik, persiapan yang matang, dan tindakan yang terencana. Baik dalam skala besar pemerintahan sebuah negara, maupun dalam skala kecil dalam keluarga atau pekerjaan, sikap proaktif dan penguatan diri adalah kunci untuk menghadapi tantangan dan membangun masa depan yang lebih baik.