2 Tawarikh 18:12 - Peringatan untuk Kebijaksanaan

"Maka berbicaralah segala utusan yang mengikuti raja dan yang mengikuti Hizkia, katanya: 'Bicaralah demikian dan jawablah raja: Beritakanlah firman yang baik, ya, sucikanlah segala perkataanmu; berkat firman-Mu tidaklah ada; janganlah mengkhawatirkan apapun.'"

Konteks Ayat dan Maknanya

Ayat 2 Tawarikh 18:12 ini muncul dalam narasi mengenai Raja Yosafat dari Yehuda dan Raja Ahab dari Israel. Yosafat, meskipun seorang raja yang berusaha hidup benar di hadapan Tuhan, terjerumus dalam persekutuan yang tidak bijak dengan Ahab, seorang raja yang jahat. Dalam percakapan sebelum pertempuran melawan Aram, para nabi Israel, yang umumnya tunduk pada kehendak raja, berusaha memberikan nasihat yang menyenangkan Ahab.

Ahab, yang ingin berperang melawan Aram di Ramot-Gilead, memanggil nabi-nabinya. Para nabi ini, yang ingin menyenangkan hati raja, mengeluarkan ramalan yang optimis, menyuruh Ahab maju dan menang. Namun, Yosafat merasakan ketidaktenangan dan menanyakan apakah ada nabi lain yang bisa dimintai nasihat dari TUHAN. Akhirnya, Mikha bin Yimla dipanggil, dan ia, meskipun awalnya menjawab dengan sarkasme, akhirnya menyampaikan firman Tuhan yang sebenarnya: bahwa Israel akan kalah perang dan raja Ahab akan mati.

Di sinilah muncul ayat 12. Utusan-utusan raja dan bahkan Hizkia (yang mungkin merujuk pada Yosafat yang sedang berbicara atau sekelompok penasihat) berteriak kepada Mikha, agar ia menyucikan perkataannya, menyampaikannya dengan baik, dan tidak menyampaikan ramalan buruk yang bisa mengkhawatirkan raja. Mereka ingin mendengar kata-kata yang menenangkan, bukan kebenaran yang pahit.

Kebenaran yang Memberi Kehidupan Lebih Berharga daripada Perkataan Manis
Ilustrasi: Kebijaksanaan membimbing menuju kebenaran.

Pelajaran untuk Masa Kini

Ayat ini mengingatkan kita tentang godaan untuk mencari kenyamanan palsu daripada kebenaran yang membangun. Seringkali, kita lebih suka mendengar kata-kata yang memanjakan ego atau menenangkan kekhawatiran sesaat, daripada firman yang menantang kita untuk bertumbuh dalam iman dan moralitas.

Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini bisa terlihat dalam berbagai bentuk. Di lingkungan kerja, kita mungkin tergoda untuk membiarkan kesalahan terjadi demi menjaga hubungan baik, alih-alih memberikan kritik yang membangun. Dalam hubungan pribadi, kita mungkin memilih untuk tidak menyuarakan kebenaran yang menyakitkan, padahal kejujuran adalah fondasi kepercayaan. Di tengah arus informasi yang begitu deras, kita juga perlu berhati-hati agar tidak hanya mengonsumsi berita atau opini yang sesuai dengan pandangan kita, tetapi mau mendengarkan perspektif lain, bahkan yang berbeda, dengan pikiran terbuka.

Firman Tuhan, sebagaimana diisyaratkan dalam Kitab Tawarikh, seringkali tidak selalu mudah diterima. Kebenaran Tuhan bisa jadi mengoreksi, menantang zona nyaman kita, dan menuntut perubahan. Namun, justru dalam kebenaran itulah terdapat potensi pertumbuhan yang sejati, pemulihan, dan kedamaian yang langgeng. Seperti halnya nabi Mikha yang menyampaikan firman Tuhan yang sebenarnya meskipun menghadapi penolakan, kita pun dipanggil untuk berpegang pada kebenaran, mencari hikmat ilahi, dan memberanikan diri untuk menyampaikannya dengan kasih, tanpa takut akan konsekuensi duniawi semata.

Pesan 2 Tawarikh 18:12 bukan berarti kita harus selalu menyakiti orang lain dengan kata-kata yang kasar. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk membedakan antara "berkata baik" yang berarti menyenangkan hati dengan kebohongan atau kepura-puraan, dengan "berkata baik" yang berarti menyampaikan kebenaran yang membangun, sekalipun itu membutuhkan keberanian. Kebijaksanaan sejati adalah kemampuan untuk membedakan keduanya dan memilih jalan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.