Kisah yang tercatat dalam 2 Tawarikh pasal 18 ayat 21 ini memberikan sebuah perspektif yang mendalam tentang bagaimana kebenaran dapat terungkap, bahkan melalui cara-cara yang tidak terduga. Ayat ini merupakan bagian dari narasi yang melibatkan raja Ahab dari Israel dan raja Yosafat dari Yehuda, serta para nabi yang mereka minta untuk berkonsultasi mengenai rencana perang.
Dalam konteks kisah ini, Ahab dan Yosafat sedang mempertimbangkan untuk berperang melawan Aram di Ramot-Gilead. Ahab, yang cenderung mengikuti hawa nafsunya dan sering kali mengabaikan firman Tuhan, memanggil nabi-nabinya. Para nabi ini, yang tampaknya lebih ingin menyenangkan raja daripada menyampaikan kebenaran, memberikan jawaban yang menguntungkan Ahab, menjanjikan kemenangan.
Namun, Yosafat, yang memiliki hati yang lebih saleh, merasa tidak puas. Ia menanyakan apakah ada nabi lain yang dapat dimintai nasihat dari Tuhan. Ahab enggan, namun akhirnya menyebutkan Mikha bin Yimla, yang ia akui selalu bernubuat buruk tentangnya. Inilah titik krusialnya.
Ketika Mikha dipanggil, ia pertama-tama tampaknya mengikuti jejak nabi-nabi lain, memberikan jawaban yang manis. Namun, ia kemudian mengungkapkan kebenaran yang mengerikan: bahwa roh jahat telah diutus oleh TUHAN untuk menyesatkan Ahab. Roh ini menawarkan diri untuk menjadi "pendusta yang membujuk" Ahab.
Ayat 21 menegaskan peran roh tersebut: "Berkatalah roh itu: 'Aku akan menjadi pendusta yang membujuk dia.' Maka firman TUHAN: 'Engkaulah yang akan membujuk Ahab, raja Israel, sehingga ia pergi berperang ke Ramot-Gilead dan mati di sana.'" Ini adalah wahyu yang dramatis. Tuhan, dalam kedaulatan-Nya, mengizinkan kebohongan untuk mencapai tujuannya yang akhir, yaitu menghukum Ahab karena ketidaktaatannya. Roh kebohongan itu dijadikan alat untuk mewujudkan murka Tuhan.
Pesan dari ayat ini sangat kuat. Pertama, ini menunjukkan bahwa Tuhan berdaulat atas segala sesuatu, termasuk kebohongan dan kejahatan. Kedua, ini menyoroti bahaya dari para pemimpin yang mencari nasihat yang menyenangkan daripada yang benar. Ahab lebih memilih mendengarkan nabi-nabi yang memuji-mujinya, meskipun itu adalah kebohongan, daripada kebenaran yang disampaikan oleh Mikha yang pahit.
Kisah ini mengajarkan kita pentingnya mencari kebenaran sejati, bahkan jika itu menyakitkan atau tidak populer. Kita harus berhati-hati terhadap suara-suara yang hanya ingin menyenangkan kita, dan lebih memilih nasihat yang berakar pada prinsip-prinsip ilahi. Kebenaran, meskipun terkadang sulit, pada akhirnya akan membawa pada kesudahan yang lebih baik, sementara kebohongan hanya akan membawa kehancuran.
Selain itu, ayat ini juga mengingatkan kita bahwa ada kekuatan spiritual yang bekerja di dunia, baik yang berasal dari Tuhan maupun yang menentang-Nya. Dalam kasus ini, roh kebohongan yang diizinkan Tuhan justru berperan dalam menggenapi kehendak ilahi yang berkaitan dengan penghakiman atas Ahab. Ini adalah misteri yang lebih dalam dari campur tangan ilahi dalam urusan manusia.
Dengan demikian, 2 Tawarikh 18 21 bukan sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah pengajaran abadi tentang sifat kebenaran, kebohongan, kedaulatan Tuhan, dan konsekuensi dari pilihan-pilihan kita. Ia mengajak kita untuk introspeksi diri, memastikan bahwa kita selalu mencari dan hidup dalam kebenaran, serta mewaspadai godaan kebohongan yang sering kali datang dalam bentuk yang paling menarik.