"TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut semua nabimu ini, padahal TUHAN telah menjanjikan celaka kepadamu."
Simbol peringatan dan kebenaran ilahi.
Ayat dari Kitab 2 Tawarikh pasal 18 ayat 22 ini merupakan pernyataan yang sangat kuat dan menggugah, terutama dalam konteks dialog antara Nabi Mikha dan para nabi palsu yang melayani Raja Ahab dari Israel. Pernyataan ini menyoroti dua elemen kunci yang sangat berbahaya dalam perjalanan rohani seseorang dan bahkan sebuah bangsa: kecongkakan dan pengaruh roh dusta.
Pada zaman itu, Raja Ahab sedang merencanakan sebuah kampanye militer melawan Aram di Ramot-Gilead. Ia mengundang Raja Yosafat dari Yehuda untuk bergabung dengannya. Yosafat, yang memiliki hati yang tulus kepada Tuhan, bertanya apakah ada nabi Tuhan yang dapat dimintai nasihat mengenai pertempuran ini. Ahab kemudian memanggil sekitar empat ratus nabi, yang semuanya memberikan ramalan yang sama: "Majulah, sebab Allah akan menyerahkan kota itu ke tangan raja." (2 Tawarikh 18:5).
Namun, Yosafat tidak merasa puas. Ia bertanya lagi, "Tidak adakah lagi di sini seorang nabi TUHAN, yang dapat kita tanyai?" (2 Tawarikh 18:7). Inilah saatnya Nabi Mikha dipanggil, seorang nabi yang oleh Ahab sendiri digambarkan tidak pernah mengucapkan nubuat baik tentangnya. Mikha, dengan keberanian yang luar biasa, awalnya menjawab dengan sarkasme, meniru ramalan para nabi lain. Namun, ketika Ahab mendesaknya untuk mengatakan kebenaran, Mikha akhirnya menyatakan bahwa ia melihat Israel tercerai-berai seperti domba tanpa gembala, dan Tuhan telah menaruh roh dusta ke dalam mulut para nabi Ahab.
Inti dari ayat 2 Tawarikh 18 22 adalah pengungkapan ilahi mengenai sumber dari nubuat-nubuat palsu tersebut. Pernyataan "TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut semua nabimu ini" bukanlah berarti Tuhan adalah sumber kebohongan atau kejahatan. Sebaliknya, ini menunjukkan bahwa Tuhan, dalam kedaulatan-Nya, mengizinkan atau menggunakan roh dusta untuk bertindak sebagai hukuman bagi mereka yang menolak kebenaran-Nya dan memilih jalan kesesatan.
Para nabi tersebut, meskipun mungkin mengaku sebagai nabi Tuhan, telah membiarkan kecongkakan dan keinginan untuk menyenangkan raja mendominasi hati mereka. Mereka memilih untuk berbicara apa yang ingin didengar oleh Ahab, bukan apa yang Tuhan firmankan. Akibatnya, mereka menjadi saluran bagi roh dusta. Kecongkakan ini membuat mereka tidak mampu melihat kebenaran yang disampaikan oleh Mikha, bahkan ketika kebenaran itu disampaikan dengan cara yang gamblang.
Ayat ini menjadi peringatan abadi bagi kita semua. Kita perlu senantiasa memeriksa motivasi hati kita ketika kita berbicara atau bertindak, terutama dalam hal-hal rohani. Apakah kita mencari kehormatan pribadi, pujian manusia, atau menyenangkan orang lain, ataukah kita mencari untuk menyenangkan Tuhan dan menyampaikan kebenaran-Nya, bahkan jika itu tidak populer? Roh dusta dapat bekerja melalui berbagai cara, dan salah satunya adalah melalui keangkuhan intelektual atau spiritual yang membuat kita merasa lebih tahu dari firman Tuhan atau lebih bijaksana dari hikmat ilahi.
Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya mendengarkan suara kebenaran, bahkan ketika itu sulit atau tidak menyenangkan. Kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam jebakan nubuat-nubuat palsu yang berasal dari keinginan duniawi atau kecongkakan pribadi. Sebaliknya, marilah kita selalu merendahkan hati di hadapan Tuhan, memohon hikmat-Nya agar kita dapat membedakan mana suara kebenaran yang datang dari Dia, dan mana suara yang menyesatkan.