"Baiklah kita pergi ke Ramot-Gilead dan berperang. Engkau tidak akan tercerai-berai," kata Ahab kepada Yosafat.
Kisah yang tertulis dalam 2 Tawarikh 18:28 menggambarkan momen krusial dalam sejarah Kerajaan Israel dan Yehuda. Ayat ini mencatat perkataan Ahab, raja Israel, kepada Yosafat, raja Yehuda, mengenai niat untuk berperang melawan Siria di Ramot-Gilead. Pernyataan Ahab yang penuh keyakinan, "Engkau tidak akan tercerai-berai," terdengar seperti sebuah jaminan kemenangan. Namun, dalam konteks kitab 2 Tawarikh, ayat ini menjadi pengingat kuat tentang konsekuensi dari keputusan yang dibuat tanpa hikmat ilahi.
Hubungan antara Ahab dan Yosafat adalah contoh perpaduan yang tidak bijaksana antara kebaikan dan kejahatan. Yosafat dikenal sebagai raja yang berusaha berjalan di jalan Tuhan, membuang berhala-berhala dan mencari Tuhan. Namun, ia terjerat dalam persekutuan yang berbahaya dengan Ahab, seorang raja yang terkenal karena kejahatannya, termasuk menyembah dewa-dewa asing dan menganiaya nabi-nabi Tuhan. Keengganan Yosafat untuk menolak ajakan Ahab, atau kegagalannya untuk sepenuhnya menguji kebenaran perkataan Ahab, membawanya ke ambang malapetaka.
Sebelum ayat ini diucapkan, Alkitab mencatat adanya berbagai nabi yang memberikan nasihat kepada Ahab. Sebagian besar nabi, yang tampaknya lebih tertarik menyenangkan raja, memberikan ramalan yang manis dan optimis. Namun, ada satu nabi yang setia, Mikha bin Yimla, yang datang dengan pesan dari Tuhan yang sangat berbeda. Mikha dengan jelas menyatakan bahwa Israel akan tercerai-berai dan raja-raja mereka akan melarikan diri tanpa pertolongan.
Pesan Mikha ini bertentangan total dengan apa yang dikatakan oleh para nabi palsu dan apa yang diinginkan Ahab. Terlepas dari ketidaknyamanan dan penolakan yang dihadapi Mikha, pesannya adalah suara kebenaran yang harus didengar oleh Yosafat. Kepercayaan Yosafat pada Ahab, yang mungkin didasarkan pada kesepakatan politik atau janji keamanan, mengesampingkan peringatan ilahi yang jelas. Ayat 28, oleh karena itu, bukan hanya sebuah pernyataan, tetapi representasi dari sebuah pilihan yang tergesa-gesa dan tanpa dasar rohani.
Kisah 2 Tawarikh 18:28 mengajarkan banyak pelajaran berharga bagi kita hari ini. Pertama, pentingnya bijaksana dalam memilih teman dan sekutu. Bergaul dengan orang-orang yang tidak berjalan di jalan Tuhan dapat membawa kita menjauh dari tujuan rohani kita. Kedua, kita perlu belajar membedakan suara kebenaran dari suara kebohongan. Dalam dunia yang penuh dengan berbagai opini dan nasihat, kita harus mencari hikmat dari sumber yang terpercaya, terutama dari Firman Tuhan.
Lebih jauh lagi, ayat ini mengingatkan kita bahwa janji-janji yang terdengar manis dan meyakinkan tidak selalu benar, terutama jika tidak selaras dengan kehendak Tuhan. Keyakinan Ahab, meskipun kuat, pada akhirnya terbukti sebagai kesombongan yang menipu. Yosafat harus belajar bahwa keamanan sejati tidak datang dari kesepakatan dengan manusia, melainkan dari ketergantungan yang teguh kepada Tuhan. Keputusan yang dibuat berdasarkan dorongan sesaat atau tekanan sosial tanpa pencarian kehendak Tuhan seringkali berujung pada penyesalan. Memahami konteks ayat ini membantu kita menghargai pentingnya integritas rohani dan kebijaksanaan dalam setiap langkah kehidupan kita.