"Lalu ia mengajak mereka berlayar ke Tarsis, bersama-sama dengan kapal-kapal yang akan pergi ke Ofir. Maka ia membuat kapal-kapal dari kayu yang baik, yang diperlengkapi dan berlayar ke Tarsis, bersama-sama dengan kapal-kapal yang akan pergi ke Ofir. Maka ia membuat kapal-kapal dari kayu yang baik, yang diperlengkapi dan berlayar ke Tarsis, bersama-sama dengan kapal-kapal yang akan pergi ke Ofir. Maka ia membuat kapal-kapal dari kayu yang baik, yang diperlengkapi dan berlayar ke Tarsis, bersama-sama dengan kapal-kapal yang akan pergi ke Ofir."
Ilustrasi kapal-kapal yang berlayar menuju tujuan yang jauh.
Ayat 2 Tawarikh 20:36 menceritakan sebuah kisah yang secara eksplisit menyebutkan tindakan Raja Yosafat yang bersekutu dengan Raja Ahazia dari Israel untuk membangun kapal-kapal yang akan berlayar ke Tarsis. Tarsis, dalam konteks Alkitab, seringkali diasosiasikan dengan pelabuhan yang sangat jauh, bahkan hingga ke bagian barat dunia yang dikenal saat itu, kemungkinan di Spanyol atau wilayah sekitarnya. Tujuan utama pembangunan kapal-kapal ini adalah untuk memperdagangkan kayu berkualitas tinggi dari Kiryoz dari Tarsis ke tanah Israel, sebagai bagian dari usaha ekonomi yang lebih besar.
Namun, kisah ini tidak berhenti pada pembangunan kapal. Ayat berikutnya dalam Kitab 2 Tawarikh (ayat 37) mengungkapkan bahwa kapal-kapal tersebut mengalami kehancuran. Kapal-kapal itu hancur dan tidak dapat berlayar sampai ke Tarsis. Kegagalan ini seringkali dikaitkan dengan beberapa faktor yang disiratkan dalam narasi Alkitab. Salah satu alasan utama yang disajikan adalah persekutuan Yosafat dengan Ahazia. Ahazia dikenal sebagai raja yang jahat dan telah menempuh jalan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Tuhan dalam kasih dan keadilan-Nya tidak berkenan melihat umat-Nya bersekutu dengan orang-orang yang menolak-Nya.
Ayat ini membawa kita pada refleksi yang mendalam mengenai konsekuensi dari pilihan-pilihan kita. Tindakan Yosafat, meskipun bertujuan ekonomi, ternyata mengandung unsur persekutuan yang tidak saleh. Kegagalan kapal-kapal itu bisa diartikan sebagai tanda peringatan dari Tuhan. Ini mengingatkan kita bahwa dalam setiap usaha, terutama yang melibatkan persekutuan atau kerja sama, penting untuk memastikan bahwa kolaborasi tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip kebenaran dan kekudusan. Bergaul dengan orang-orang yang menjauhkan diri dari Tuhan dapat membawa kita pada kesialan dan kehancuran, bukan hanya secara materi, tetapi juga secara rohani.
Lebih jauh lagi, kisah ini mengajarkan pentingnya kebijaksanaan dalam mengambil keputusan bisnis dan politik. Tidak semua kemitraan yang terlihat menguntungkan secara materi akan berujung baik jika tidak didasarkan pada fondasi yang benar. Tuhan menginginkan umat-Nya untuk mandiri dan maju, tetapi melalui cara-cara yang menghormati-Nya. Peristiwa ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa menguji motivasi dan dasar dari setiap usaha yang kita lakukan, serta berhati-hati dalam memilih rekan kerja dan mitra. Tuhan ingin kita berhasil, tetapi kesuksesan yang sejati adalah kesuksesan yang mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya.