2 Tawarikh 25:16 - Peringatan Nabi kepada Amasia

"Dan ketika ia sedang berbicara, raja menyela, katanya: 'Apakah engkau telah dijadikan penasihat raja? Berhentilah! Mengapa engkau hendak melawan diri sendiri?'"

Kisah yang tercatat dalam 2 Tawarikh pasal 25, khususnya ayat ke-16, memberikan sebuah momen dramatis dalam kehidupan Raja Amasia dari Yehuda. Ayat ini bukan hanya sekadar kutipan, melainkan sebuah jendela yang membuka wawasan tentang bagaimana nasihat yang baik dapat diterima dengan buruk, terutama ketika datang dari sumber yang dianggap tidak memiliki otoritas tertinggi. Amasia, setelah meraih kemenangan yang gemilang melawan bangsa Edom di Lembah Garam, menjadi begitu sombong dan percaya diri. Kemenangan ini membuatnya lupa akan sumber kekuatan sejatinya, yaitu Tuhan.

Dalam keangkuhan dan rasa aman yang berlebihan, Amasia rupanya mengabaikan hikmat yang datang dari para penasihatnya yang berpengalaman atau bahkan dari firman Tuhan yang disampaikan melalui nabi-Nya. Ayat 2 Tawarikh 25:16 menggambarkan momen krusial ketika seorang nabi mencoba memberikan peringatan kepada Amasia. Sang raja, yang merasa kemenangannya adalah bukti kehebatannya sendiri, tidak mau mendengar nasihat lebih lanjut. Responsnya sangat tajam dan meremehkan: "Apakah engkau telah dijadikan penasihat raja? Berhentilah! Mengapa engkau hendak melawan diri sendiri?"

Kata-kata Amasia mencerminkan pola pikir banyak pemimpin, bahkan yang berkuasa sekalipun. Ia melihat nasihat sebagai bentuk pembangkangan atau usaha untuk menggoyahkan posisinya. Sebaliknya, nabi tersebut kemungkinan besar ingin mengingatkan Amasia agar tidak menempatkan kepercayaan pada kekuatan sendiri atau pada dewa-dewa bangsa lain, melainkan terus bersandar kepada Tuhan yang telah menganugerahkan kemenangan tersebut. Ada kemungkinan Amasia sedang mempertimbangkan untuk melanjutkan ekspansi militer atau mengambil tindakan lain yang dipandang gegabah oleh nabi.

Kisah ini mengajarkan pentingnya kerendahan hati di hadapan Tuhan dan keterbukaan untuk menerima nasihat yang membangun. Seringkali, kemenangan dan kesuksesan dapat membutakan mata hati kita terhadap kekurangan dan potensi kesalahan. Amasia, karena kesombongannya, menolak peringatan ilahi yang datang melalui nabi. Ini adalah pengingat yang kuat bagi kita semua, bahwa bahkan ketika kita merasa berada di puncak, kita tetap membutuhkan hikmat dan bimbingan, baik dari firman Tuhan maupun dari orang-orang bijak di sekitar kita. Menolak nasihat yang baik sama saja dengan menolak kesempatan untuk tumbuh dan terhindar dari potensi kejatuhan.

Akibat dari penolakan Amasia terhadap peringatan ini sangat tragis. Meskipun tidak dijelaskan secara rinci dalam ayat ini, konteks pasal 25 lebih lanjut menunjukkan bahwa Amasia akhirnya menghadapi konsekuensi yang berat atas keputusannya yang didorong oleh kesombongan dan ketidaktaatan. Kisah ini tetap relevan hingga kini, mengingatkan kita untuk selalu menguji hati kita, apakah kita terbuka terhadap nasihat atau justru seperti Amasia, yang merasa diri sudah cukup bijak dan tidak membutuhkan masukan dari siapapun, terutama jika masukan itu datang dari suara yang dianggap "kurang berkuasa" atau "berbeda pandangan". Kebijaksanaan sejati terletak pada kemampuan untuk mendengarkan, merenungkan, dan belajar.