"Lalu Uzia masuk ke dalam Bait TUHAN untuk membakar korban di mezbah pembakaran ukupan. Ia masuk bersama para imam, keturunan Harun. Dan Yosia, kepala imam beserta delapan puluh imam dari TUHAN, maju menghadapi dia."
Kisah Raja Uzia dari Yehuda, seperti yang tercatat dalam Kitab 2 Tawarikh pasal 26, merupakan sebuah narasi yang kuat tentang pertumbuhan, kemakmuran, dan akhirnya, kejatuhan seorang pemimpin akibat kesombongan. Di awal pemerintahannya, Uzia adalah raja yang saleh dan cakap. Alkitab mencatat bahwa ia "melakukan apa yang benar di mata TUHAN" (2 Tawarikh 26:4). Ia berhasil mengkonsolidasikan kerajaan, memperkuat pertahanan, mengembangkan pertanian, dan bahkan memimpin kemenangan militer yang gemilang. Di bawah kepemimpinannya, Yehuda menjadi kuat dan makmur.
Namun, ketika kekuatan dan pengaruhnya semakin besar, hati Uzia mulai berubah. Kekayaan dan keberhasilan yang ia capai membuatnya merasa lebih unggul dan lupa akan batasannya sebagai seorang raja. Puncaknya adalah ketika ia memutuskan untuk melakukan tugas yang hanya boleh dilakukan oleh para imam: membakar korban dupa di dalam Bait Suci. Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan manifestasi langsung dari kesombongannya yang mengabaikan otoritas ilahi dan pemisahan antara fungsi raja dan imam. Kesuksesannya telah membuatnya percaya diri secara berlebihan, hingga ia merasa berhak melangkahi perintah Tuhan.
Ilustrasi visual simbol peringatan bahaya.
Ayat 2 Tawarikh 26:18 menggambarkan momen krusial ketika para imam, dipimpin oleh Azarya, berani menghadapi Uzia. Mereka dengan tegas mengingatkannya, "Bukanlah tugasmu, Uzia, membakar korban ukupan bagi TUHAN; itu tugas para imam, keturunan Harun, yang telah dikuduskan untuk tugas itu." Ketegasan para imam ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran yang dilakukan Uzia. Namun, Uzia, yang sudah dikuasai oleh kesombongan, malah murka. Dalam kemarahannya, ia bersiap untuk tetap melakukan tindakan terlarang tersebut.
Reaksi Tuhan terhadap kesombongan Uzia sangatlah keras. Saat Uzia masih marah kepada para imam, Tuhan mendatangkan penyakit kusta kepadanya di dahi. Penyakit ini adalah tanda kenajisan yang mengerikan, yang seketika itu juga membuat Uzia dikeluarkan dari hadirat Tuhan dan dari Bait Suci. Ia terpaksa mengasingkan diri hingga akhir hayatnya, menjadi raja yang terkena kusta, sebuah akhir yang tragis bagi seseorang yang pernah begitu diberkati dan dihormati. Kisahnya menjadi peringatan abadi bahwa kesuksesan duniawi tidak boleh membutakan kita dari ketaatan kepada Tuhan dan batasan-batasan yang telah ditetapkan-Nya.
Kisah Uzia dalam 2 Tawarikh 26:18 menawarkan pelajaran berharga bagi kita semua. Di era modern ini, kita seringkali didorong untuk mencapai kesuksesan, kekayaan, dan pengakuan. Namun, penting untuk selalu mengingat bahwa segala pencapaian kita berasal dari Tuhan. Kesombongan bisa menyelinap masuk dalam berbagai bentuk: kebanggaan yang berlebihan atas talenta, merasa tidak membutuhkan Tuhan, atau mengabaikan prinsip-prinsip moral demi ambisi pribadi.
Kita diingatkan untuk tetap rendah hati, mengakui ketergantungan kita kepada Tuhan dalam setiap aspek kehidupan, dan menghormati batasan-batasan serta otoritas yang telah Tuhan tetapkan, baik dalam kehidupan pribadi, profesional, maupun rohani. Penolakan terhadap peringatan dan kekukuhan dalam kesombongan hanya akan membawa kehancuran. Oleh karena itu, marilah kita belajar dari Uzia untuk senantiasa menjaga hati kita dari kesombongan dan hidup dalam ketaatan serta kerendahan hati di hadapan Sang Pencipta.