Ayat ini menyoroti kualitas kepemimpinan yang luar biasa dari Hizkia, seorang raja Yehuda. Ia dikenang karena melakukan apa yang benar di mata Tuhan. Kata "benar" di sini tidak sekadar berarti mematuhi hukum secara lahiriah, tetapi mencakup tindakan yang tulus, jujur, dan sesuai dengan kehendak ilahi. Ini adalah fondasi penting bagi seorang pemimpin yang ingin menyenangkan Tuhan dan membawa berkat bagi umatnya.
Perbandingan dengan ayahnya, Obed, semakin memperkuat gambaran ini. Meskipun Obed tidak disebutkan secara rinci dalam Kitab Suci, penyebutan namanya di sini menunjukkan bahwa ia adalah teladan yang baik. Hizkia tidak hanya mengikutinya, tetapi ia menorehkan jalannya sendiri dengan menetapkan standar moral dan spiritual yang tinggi. Ini mengajarkan kita bahwa warisan kebaikan dan kesalehan perlu terus diperbarui dan dihidupi oleh setiap generasi.
Hizkia membangun kembali fondasi keagamaan yang telah lama terabaikan. Ia memerintahkan agar mezbah-mezbah berhala dihancurkan dan agar ibadah kepada Tuhan dipulihkan. Tindakannya ini menunjukkan keberanian dan komitmennya yang mendalam. Di tengah situasi politik yang mungkin penuh tantangan, ia memilih untuk memprioritaskan hubungan dengan Tuhan.
Keteladanan Hizkia bukan hanya untuk para pemimpin di masa itu, tetapi juga relevan bagi kita hari ini. Dalam segala peran yang kita jalani—sebagai orang tua, karyawan, pemimpin komunitas, atau bahkan hanya sebagai individu—kita dipanggil untuk melakukan apa yang benar di mata Tuhan. Ini berarti membuat pilihan-pilihan yang didasarkan pada prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, dan kasih, meskipun terkadang itu sulit atau tidak populer.
Hizkia memerintah Kerajaan Yehuda pada masa ketika banyak raja-raja sebelumnya telah menyimpang dari jalan Tuhan, menyembah ilah-ilah asing dan membiarkan praktik-praktik keagamaan yang sesat merajalela. Dalam konteks inilah, tindakan Hizkia untuk "melakukan apa yang benar di mata TUHAN" menjadi sangat signifikan. Ia berani mengambil langkah-langkah reformasi yang radikal, memulihkan ibadah kepada Tuhan di bait suci, dan mendorong bangsanya untuk kembali kepada kesetiaan kepada Allah.
Keputusannya untuk mengikuti teladan ayahnya, Obed, yang juga dikenal sebagai orang yang saleh, menunjukkan bahwa keteladanan keluarga memiliki peran penting dalam membentuk karakter. Namun, yang lebih penting adalah komitmen pribadi Hizkia terhadap kebenaran. Ia tidak hanya mengikuti jejak ayahnya secara membabi buta, tetapi ia memahami dan menginternalisasi prinsip-prinsip yang mendasarinya. Ini adalah undangan bagi kita semua untuk tidak hanya meniru tindakan baik orang lain, tetapi untuk mengerti alasannya dan mengembangkannya dalam hidup kita sendiri.
Kesetiaan Hizkia kepada Tuhan membawa dampak positif yang luar biasa bagi Kerajaan Yehuda. Di bawah kepemimpinannya, bangsa itu mengalami kedamaian, kemakmuran, dan perlindungan ilahi. Ketika Hizkia dan rakyatnya berseru kepada Tuhan, Allah menjawab mereka. Ini menegaskan bahwa melakukan apa yang benar di mata Tuhan, dengan hati yang tulus, adalah kunci untuk membuka berkat dan pemeliharaan ilahi.
Ayat ini menjadi pengingat yang kuat bahwa integritas dan ketulusan dalam hati adalah kualitas yang sangat berharga, terutama dalam kepemimpinan dan kehidupan sehari-hari. Dengan meneladani Hizkia, kita diajak untuk terus memeriksa hati kita, memastikan bahwa tindakan kita selaras dengan kehendak Tuhan, dan menjadi terang bagi dunia di sekitar kita.