2 Tawarikh 28:14 - Ketaatan dan Pengampunan

"Kemudian berkatalah Elia kepada hamba Allah itu: "Masuklah, makanlah roti, dan sesudah minum, kembalilah dan bawalah jalan yang telah ditunjukkan kepadamu." Tetapi ia tidak mau."
Simbol abstrak geometris berwarna-warni yang melambangkan percabangan dan pilihan, dengan warna sejuk cerah

Kisah yang tercatat dalam Kitab 2 Tawarikh pasal 28 ayat 14 menyajikan sebuah momen penting dalam kehidupan seorang hamba Tuhan. Dalam konteks pengasingan dan perlakuan keras yang diterima oleh orang-orang Israel yang dibawa ke Samaria oleh Raja Pekah dari Israel dan Raja Reksion dari Aram, ayat ini menyoroti tindakan kasih dan belas kasihan yang ditunjukkan oleh para pemimpin Israel, yang meskipun berada dalam situasi yang sulit, masih memiliki hati untuk sesama.

Ayat tersebut berbunyi: "Kemudian berkatalah Elia kepada hamba Allah itu: "Masuklah, makanlah roti, dan sesudah minum, kembalilah dan bawalah jalan yang telah ditunjukkan kepadamu." Tetapi ia tidak mau." Di sini, kita melihat seorang hamba Allah yang diperintahkan untuk makan dan minum bersama mereka, yang menyiratkan sebuah ajakan untuk beristirahat dan memulihkan tenaga. Ia diberi jalan untuk kembali, sebuah kesempatan untuk melanjutkan perjalanannya.

Namun, respons hamba Allah itu adalah penolakan: "Tetapi ia tidak mau." Penolakan ini mungkin membingungkan pada pandangan pertama. Mengapa menolak tawaran kebaikan, makanan, dan kebebasan untuk kembali? Dalam narasi yang lebih luas, seringkali penolakan semacam ini menandakan adanya motif yang lebih dalam, sebuah kepatuhan pada panggilan yang lebih tinggi, atau mungkin sebuah keraguan akan keselamatan dirinya jika ia menerima bantuan dari orang yang sedang dalam posisi yang tidak baik atau sedang menjalankan rencana yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dalam konteks Alkitab, terkadang sikap seperti ini menunjukkan kesetiaan yang teguh pada tugas yang diberikan Tuhan, bahkan ketika itu berarti menghadapi kesulitan atau menolak kenyamanan duniawi.

Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya belas kasihan dan ketaatan. Para pemimpin Israel, meskipun diperbudak dan diperlakukan tidak adil, menunjukkan kasih kepada sesama yang juga dalam kesulitan. Ini adalah contoh bagaimana iman dapat mendorong tindakan kebaikan, bahkan di tengah penderitaan. Di sisi lain, penolakan hamba Allah itu bisa menjadi pengingat bahwa ada kalanya kita harus tetap teguh pada prinsip dan panggilan kita, bahkan ketika godaan atau tawaran kemudahan datang.

Peristiwa ini juga mengingatkan kita bahwa dalam setiap situasi, sekecil apapun, Tuhan memiliki rencana. Tindakan belas kasihan bisa menjadi awal dari pemulihan, dan kesetiaan pada panggilan dapat membawa hasil yang tak terduga. Memahami konteks sejarah dan teologis di balik ayat ini akan memperkaya pemahaman kita tentang pesan yang ingin disampaikan.

Ketaatan, baik dalam memberi maupun menerima kebaikan, merupakan aspek penting dalam kehidupan rohani. Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan bagaimana kita merespons panggilan Tuhan, bagaimana kita menunjukkan kasih kepada sesama, dan bagaimana kita menghadapi pilihan-pilihan sulit dalam hidup.