Ayat 2 Tawarikh 28:24 ini menceritakan sebuah momen penting dalam pemerintahan Raja Hizkia di Yehuda. Setelah masa-masa kegelapan dan penyembahan berhala yang merajalela di bawah pemerintahan ayahnya, Ahas, Hizkia mengambil langkah tegas untuk memulihkan ibadah yang benar kepada TUHAN. Perintahnya yang gamblang kepada para imam dan orang Lewi menunjukkan tekadnya untuk membersihkan rumah TUHAN dari segala kecemaran dan mengembalikan persembahan yang layak.
Konteks ayat ini sangat krusial. Yehuda telah mengalami berbagai kesulitan, termasuk serangan dari Aram dan Israel, serta penyerahan diri kepada Asyur yang membawa penderitaan lebih lanjut. Semua ini merupakan akibat dari ketidaktaatan umat kepada Allah. Hizkia, sebagai raja yang baru naik takhta, menyadari bahwa pemulihan bangsa dimulai dari pemulihan hubungan mereka dengan TUHAN. Ia tidak hanya memerintahkan pembersihan fisik rumah ibadah, tetapi juga mengembalikan fungsi spiritualnya dengan mengizinkan persembahan.
Perintah Hizkia ini bukan sekadar rutinitas administratif. Ini adalah tindakan iman yang memprioritaskan kembali hubungan dengan Allah di atas segalanya. Kata kunci di sini adalah "bawa kemari mezbah-mezbah yang telah dihancurkan". Mezbah-mezbah ini kemungkinan besar telah dirusak atau diabaikan, simbol dari penyembahan yang tersesat. Memulihkannya berarti memulihkan saluran komunikasi dan persekutuan dengan Sang Pencipta.
Lebih jauh lagi, perintah untuk mempersembahkan "barang-barang persembahan dan pembakaran yang belum terpakai" serta "semua harta benda yang baik itu" menunjukkan kesediaan untuk mengorbankan sumber daya yang ada untuk tujuan ibadah. Ini adalah indikasi hati yang tulus dan penuh penyesalan, yang ingin mempersembahkan yang terbaik bagi TUHAN. Hizkia memahami bahwa ketaatan sejati melibatkan pengorbanan dan penyerahan diri sepenuhnya.
Implikasi dari tindakan Hizkia meluas hingga ke kehidupan rohani kita. Kita pun seringkali menemukan "mezbah" hati kita ternoda oleh dosa, kebiasaan buruk, atau prioritas duniawi. Ayat ini memanggil kita untuk melakukan "pembersihan" serupa. Mengembalikan mezbah hati kita kepada TUHAN berarti membersihkan dari hal-hal yang menjauhkan kita dari-Nya dan secara sengaja mempersembahkan hidup kita, waktu kita, dan sumber daya kita kepada-Nya. Ini adalah janji bahwa ketika kita menempatkan ibadah yang benar di tempat utama, TUHAN akan memulihkan dan memberkati kita.
Kisah Hizkia adalah pengingat yang kuat bahwa pemulihan sejati, baik secara pribadi maupun komunal, dimulai dari pemulihan hubungan dengan Allah. Melalui kesetiaan dalam ketaatan dan ketulusan dalam persembahan, kita dapat mengalami hadirat-Nya yang memulihkan dan membimbing langkah kita.