Ayat 2 Tawarikh 30:14 ini mencatat salah satu momen terpenting dalam sejarah Israel, yaitu pemulihan ibadah yang setia kepada TUHAN. Raja Hizkia, seorang pemimpin yang beriman, mengambil langkah berani untuk mengembalikan umatnya kepada ketaatan yang benar setelah periode penyembahan berhala dan kelalaian rohani. Perintah ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah tindakan iman yang mendalam, sebuah pengakuan atas kedaulatan Allah.
Penting untuk memahami konteks di balik ayat ini. Israel telah lama terpecah belah menjadi kerajaan Utara (Israel) dan kerajaan Selatan (Yehuda). Keduanya telah jatuh ke dalam jurang penyembahan berhala, menyimpang dari hukum-hukum Allah. Raja Hizkia, yang memerintah di Yehuda, menyadari betapa seriusnya kondisi rohani bangsanya. Ia memutuskan untuk tidak hanya memperbaiki keadaan di kerajaannya sendiri, tetapi juga mengundang kerajaan Utara untuk bergabung dalam pemulihan ini, meskipun sebagian besar dari mereka telah terperosok lebih dalam.
Perintah untuk mempersembahkan korban bakaran dan korban santapan di atas mezbah TUHAN menandakan pengakuan atas dosa dan kerinduan untuk rekonsiliasi dengan Allah. Korban-korban ini adalah simbol pengorbanan yang akan datang, yaitu pengorbanan Kristus, yang akan menghapus dosa-dosa umat-Nya. Dalam konteks ini, Hizkia memimpin umatnya kembali ke dasar-dasar iman, yaitu persembahan yang diperintahkan oleh hukum Taurat.
Tindakan ini membutuhkan keberanian dan keyakinan yang teguh. Melawan arus budaya yang telah lama menyimpang, Hizkia berani menegakkan kebenaran. Ia tidak hanya mengeluarkan perintah, tetapi juga memimpin dengan teladan. Pemulihan yang dipimpin Hizkia ini bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang perubahan hati. Ketika umatnya kembali beribadah dengan sungguh-sungguh, mereka mulai merasakan kembali hadirat Allah dan berkat-Nya.
Ayat 2 Tawarikh 30:14 mengingatkan kita akan pentingnya ibadah yang setia dan memulihkan hubungan kita dengan Allah ketika kita menyimpang. Dalam kehidupan modern, seringkali kita tergoda untuk mengabaikan panggilan Tuhan, tersesat dalam kesibukan duniawi, atau bahkan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan firman-Nya. Namun, kisah Hizkia mengajarkan kita bahwa selalu ada kesempatan untuk kembali. Pemulihan rohani dimulai dengan keputusan untuk mematuhi perintah Tuhan, dengan hati yang tulus dan kerinduan untuk menyembah Dia dengan benar.
Pengalaman Hizkia juga menunjukkan bahwa pemulihan iman adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Ini bukan sekadar satu peristiwa, melainkan sebuah komitmen untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah setiap hari. Dengan memusatkan perhatian pada mezbah Tuhan, baik secara harfiah maupun rohani, kita mengundang Allah untuk bekerja dalam hidup kita, memulihkan, memperbaharui, dan membimbing kita di jalan kebenaran-Nya.