Kisah dalam 2 Tawarikh pasal 30, khususnya ayat 3, membawa kita pada momen krusial dalam sejarah Israel. Ayat ini menggambarkan sebuah realitas yang cukup mengecewakan: perayaan Paskah, salah satu hari raya terpenting yang mengingatkan umat Tuhan akan pembebasan ajaib dari perbudakan Mesir, tidak dapat dirayakan sebagaimana mestinya. Penyebabnya, sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, adalah karena dua faktor utama: ketidaklengkapan persiapan rohani para imam dan kegagalan rakyat untuk berkumpul di Yerusalem.
Paskah bukanlah sekadar ritual tahunan; ia adalah pengingat akan kasih karunia, perjanjian, dan kuasa penyelamatan Allah. Untuk melaksanakannya dengan benar, dibutuhkan kesucian dari para pemimpin ibadah, yaitu para imam. Ketika para imam tidak sempat atau lalai dalam menyucikan diri sesuai dengan ketetapan Taurat, standar kekudusan ibadah terancam. Hal ini menunjukkan adanya masalah serius dalam tatanan pelayanan di Bait Allah.
Lebih lanjut, ayat ini menyoroti aspek kolektif dari ibadah ini. Paskah adalah perayaan bersama. Kehadiran umat di Yerusalem adalah bukti kesatuan iman dan kepatuhan mereka terhadap perintah Tuhan. Ketika rakyat tidak berkumpul, itu mengindikasikan adanya kerenggangan rohani, ketidakpedulian, atau mungkin hambatan lain yang membuat mereka tidak dapat memenuhi panggilan ilahi ini. Keadaan ini bukanlah cerminan dari ketaatan yang penuh semangat, melainkan sebuah sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan rohani bangsa.
Namun, kisah di balik ayat ini tidak berhenti pada kekecewaan. Pasal 30 terus berlanjut dengan narasi Raja Hizkia yang sangat merindukan umatnya untuk kembali kepada Tuhan dan merayakan Paskah dengan benar. Ia kemudian mengutus pesan ke seluruh Israel, mengundang mereka untuk datang ke Yerusalem dan memperbaharui perayaan Paskah. Meskipun ada penolakan dan ejekan dari beberapa wilayah, banyak yang akhirnya datang dan memperbaharui komitmen mereka kepada Tuhan. Perayaan Paskah yang terjadi setelah penundaan ini menjadi salah satu perayaan yang paling meriah dan bermakna dalam sejarah Israel.
Oleh karena itu, 2 Tawarikh 30:3 bukan hanya sebuah catatan tentang kegagalan, tetapi juga pengantar menuju sebuah pemulihan. Ayat ini mengingatkan kita akan pentingnya persiapan yang matang dalam beribadah, baik secara pribadi maupun komunal. Kekudusan imam dan partisipasi umat adalah pilar penting yang menopang keutuhan ibadah. Kegagalan dalam salah satu aspek ini dapat mengganggu makna mendalam dari apa yang seharusnya dirayakan. Namun, di balik kegagalan, selalu ada harapan untuk pemulihan, asalkan ada kerinduan untuk kembali kepada Tuhan dan kesediaan untuk mengikuti pimpinan-Nya, seperti yang ditunjukkan oleh Raja Hizkia.