2 Tawarikh 31:6 - Persembahan dalam Ketaatan

"Dan mengenai bani Israel, baik orang Lewi, raja menetapkan bagian bagi mereka, yakni sepersepuluh dari segala hasil bumi mereka, yang telah dikumpulkan, baik dari hasil gandum, anggur baru, minyak, madu, maupun dari segala hasil tanah. Dan sepersepuluh dari segala sesuatu itu bani Lewi berhak menerimanya."

Simbol Ketaatan dan Persembahan

Ayat 2 Tawarikh 31:6 membuka tirai mengenai implementasi reformasi ibadah yang dipimpin oleh Raja Hizkia. Setelah Hizkia dengan tegas menyingkirkan patung-patung berhala dan mengembalikan pusat ibadah kepada Tuhan di Yerusalem, ia tidak berhenti pada tindakan pembongkaran semata. Langkah selanjutnya yang krusial adalah pemulihan sistem persembahan dan pelayanan para imam serta orang Lewi. Ayat ini secara spesifik menyoroti ketetapan raja mengenai bagian sepersepuluh dari hasil bumi yang harus dikumpulkan, bukan hanya untuk kepentingan imam dan Lewi, tetapi juga sebagai wujud ketaatan bangsa Israel secara keseluruhan.

Perintah Hizkia untuk mengumpulkan sepersepuluh dari segala hasil bumi—gandum, anggur baru, minyak, madu, dan hasil tanah lainnya—adalah sebuah instruksi yang sangat praktis dan mendasar. Ini bukan sekadar perintah keagamaan, melainkan juga kebijakan ekonomi dan sosial yang memastikan kelangsungan pelayanan rohani dan kebutuhan para pelayan Tuhan. Dalam konteks perjanjian lama, sistem persepuluhan merupakan perintah langsung dari Tuhan sebagai cara untuk memelihara umat-Nya dan memberkati mereka yang melayani-Nya.

Penting untuk dicatat bahwa ayat ini menyebutkan "sepensepuluh dari segala hasil bumi mereka, yang telah dikumpulkan". Frasa "yang telah dikumpulkan" menyiratkan sebuah proses yang terorganisir. Ini menunjukkan bahwa pengumpulan persembahan tidak dilakukan secara acak, tetapi melalui sistem yang efisien. Raja Hizkia, dengan kebijaksanaan yang dianugerahkan Tuhan, menata pengumpulan ini sehingga setiap bagian dari hasil panen benar-benar dapat dipersembahkan. Ini juga mencakup "gandum, anggur baru, minyak, madu", menunjukkan cakupan luas dari apa yang seharusnya dipersembahkan, mencakup kebutuhan pokok maupun yang bersifat tambahan.

Penegasan bahwa "sepensepuluh dari segala sesuatu itu bani Lewi berhak menerimanya" menegaskan kembali peran sentral orang Lewi dalam pelayanan di Bait Allah. Mereka, yang tidak mendapatkan tanah warisan seperti suku Israel lainnya, sepenuhnya bergantung pada persembahan umat. Dengan demikian, ketaatan umat dalam memberikan persepuluhan adalah bentuk dukungan mereka terhadap misi spiritual bangsa. Ayat ini juga menjadi saksi bisu dari kebangunan rohani yang terjadi pada masa Hizkia. Orang-orang Israel merespons dengan sukarela dan penuh semangat, terbukti dari melimpahnya hasil yang dikumpulkan. Ketaatan yang tulus dalam memberikan persembahan seringkali berujung pada berkat yang berlimpah, baik secara material maupun spiritual.

Secara aplikatif, 2 Tawarikh 31:6 mengajarkan kita tentang pentingnya kemurahan hati dan pengelolaan sumber daya yang baik dalam kehidupan rohani. Persepuluhan bukan sekadar kewajiban finansial, tetapi sebuah tindakan iman yang mengakui Tuhan sebagai sumber segala berkat. Ketika kita memberikan sebagian dari apa yang Tuhan percayakan kepada kita, kita sedang meniru prinsip kasih dan pemeliharaan yang Tuhan tunjukkan kepada umat-Nya. Kebangunan rohani seringkali dimulai dari hati yang rela memberi, bukan hanya materi, tetapi juga waktu dan talenta untuk kemuliaan-Nya.