Ayat 2 Tawarikh 33:11 ini mencatat sebuah momen krusial dalam kehidupan Raja Manasye dari Yehuda. Setelah memerintah dengan begitu lama dan penuh dengan penyembahan berhala serta kekejaman, termasuk mengorbankan anaknya sendiri kepada dewa Molekh, Manasye akhirnya menghadapi murka TUHAN. Hukuman yang datang bukanlah sekadar peringatan, melainkan sebuah penangkapan yang memalukan.
Para pemimpin tentara raja Asyur, yang kala itu merupakan kekuatan dominan di wilayah tersebut, dikirim oleh TUHAN untuk melaksanakan penghakiman. Manasye, yang dulunya perkasa di takhtanya, kini ditangkap dengan cara yang sangat merendahkan: dengan pengait hidung dan belenggu tembaga. Alat-alat ini sering digunakan untuk mengontrol hewan-hewan buas atau tawanan yang dianggap memberontak dan sulit diatur. Penangkapan ini membawanya jauh dari kerajaannya, ke negeri Babel, ibu kota kekaisaran Asyur pada masa itu. Ini adalah kejatuhan yang sangat dalam bagi seorang raja yang pernah begitu berkuasa dan memiliki otoritas absolut di negerinya sendiri.
Penangkapan dan pembuangan ke Babel ini bukanlah sekadar peristiwa politik atau militer biasa. Ini adalah konsekuensi langsung dari dosa-dosa Manasye yang luar biasa banyaknya. Kitab Tawarikh mencatat dengan jelas bagaimana Manasye menghancurkan bait TUHAN, membangun mezbah untuk dewa-dewa asing, mendirikan patung berhala di halaman Bait Suci, dan menyesatkan seluruh rakyatnya untuk melakukan kejahatan yang lebih besar daripada bangsa-bangsa yang diusir TUHAN dari hadapan orang Israel. Perilakunya begitu mengerikan sehingga TUHAN merasa perlu untuk campur tangan secara dramatis.
Titik Balik Menuju Pertobatan
Meskipun ayat ini menggambarkan momen yang penuh penderitaan dan kehinaan, di sinilah letak keajaibannya. Pengalaman pahit di pengasingan dan di bawah belenggu justru menjadi titik balik spiritual bagi Manasye. Dalam kesengsaraannya, terpisah dari kekuasaan, kemewahan, dan lingkungan yang telah menyesatkannya, Manasye akhirnya merenung. Ayat selanjutnya, 2 Tawarikh 33:12-13, dengan indah menggambarkan bagaimana ia merendahkan diri di hadapan Allah leluhurnya, berdoa dengan sungguh-sungguh, dan mencari wajah TUHAN. TUHAN mendengarkan permohonannya, mengampuni kesalahannya, dan bahkan memulihkannya kembali ke takhtanya di Yerusalem.
Kisah Manasye, yang dimulai dengan hukuman kejam dalam 2 Tawarikh 33:11, menjadi bukti nyata bahwa kasih karunia dan pengampunan Allah bisa dijangkau bahkan oleh orang yang paling berdosa sekalipun, asalkan ada kerendahan hati dan pertobatan yang tulus. Penangkapan ini, meskipun sangat menyakitkan, justru menjadi alat yang digunakan Allah untuk menarik Manasye kembali kepada-Nya. Ini menunjukkan bahwa situasi terburuk sekalipun dapat menjadi kesempatan untuk kebangunan rohani, jika kita bersedia untuk berserah dan mencari Tuhan.
Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada dosa yang terlalu besar bagi pengampunan Allah. Namun, pengampunan itu datang melalui proses. Dalam kasus Manasye, proses itu melibatkan penderitaan, kehilangan kekuasaan, dan penghinaan yang mendalam. Ketika kita menghadapi kesulitan dalam hidup, entah itu masalah pribadi, kegagalan, atau teguran, penting untuk tidak hanya melihatnya sebagai nasib buruk, tetapi sebagai kemungkinan panggilan dari Tuhan untuk merenung, memperbaiki diri, dan kembali kepada-Nya.
Manasye, setelah dipulihkan, tidak hanya berhenti melakukan kejahatannya, tetapi ia juga berusaha untuk memperbaiki kerusakan yang telah ia perbuat. Ia menyingkirkan dewa-dewa asing, menghancurkan patung-patung berhala, dan mendorong bangsanya untuk kembali melayani TUHAN. Perubahannya begitu drastis sehingga ia dikenang bukan hanya karena kejahatannya yang mengerikan, tetapi juga karena pertobatannya yang mendalam dan pemulihannya oleh Allah.