2 Tawarikh 33:24

Dan stafnya tidak mencatat namanya, tetapi ia mati dalam rumahnya.

Kisah Pengampunan yang Menginspirasi

Kitab Suci menyimpan banyak kisah tentang kejatuhan dan kebangkitan, dosa dan pengampunan. Salah satu ayat yang mungkin terdengar sederhana namun sarat makna adalah 2 Tawarikh 33:24. Ayat ini mencatat akhir dari kehidupan Raja Manasye, seorang raja Yehuda yang dikenal karena kesalahannya yang besar. Manasye melakukan banyak hal yang jahat di mata TUHAN, menyembah berhala, mendirikan mezbah bagi dewa-dewa asing, dan bahkan mengorbankan anak-anaknya. Perbuatannya ini mendatangkan murka TUHAN atas Yehuda. Namun, justru di tengah kesulitan dan pembuangan, Manasye merendahkan diri dan mencari TUHAN.

2 Tawarikh 33:10-13 menceritakan titik balik dalam hidup Manasye. Setelah ditawan oleh raja Asyur, Manasye akhirnya sadar dan bertobat. Ia merendahkan diri di hadapan Allah leluhurnya, berdoa kepada-Nya, dan Allah mendengarkan permohonannya. TUHAN mengembalikan Manasye ke Yerusalem untuk menduduki kembali takhtanya. Dalam periode ini, Manasye mulai melakukan perubahan besar. Ia menyingkirkan dewa-dewa asing, memperbaiki mezbah TUHAN, dan menyembah Allah Israel. Ia juga memerintahkan Yehuda untuk melayani TUHAN.

Ayat 2 Tawarikh 33:24 mencatat bahwa "stafnya tidak mencatat namanya, tetapi ia mati dalam rumahnya." Apa makna di balik catatan ini? Meskipun Manasye melakukan banyak kejahatan yang tidak dicatat oleh para juru tulis istana sebagai perbuatan terpuji yang layak dikenang dalam catatan kerajaan, ia tetap mendapat kesempatan untuk mati dengan damai di rumahnya. Ini bukan karena perbuatan baiknya selama masa pemerintahannya yang awal yang tercatat, melainkan karena pertobatan tulus yang ia tunjukkan di akhir hidupnya.

Ayat ini mengajarkan kita tentang belas kasihan dan pengampunan Allah yang tak terbatas. Meskipun dosa Manasye sangat besar, Allah tidak pernah menutup pintu pengampunan bagi mereka yang sungguh-sungguh merendahkan diri dan bertobat. Penulis kitab Tawarikh memilih untuk fokus pada akhir hidup Manasye, yaitu kematian yang tenang, sebagai bukti bahwa pertobatan adalah hal yang sangat berharga di mata Tuhan. Ini memberikan harapan bagi setiap orang yang merasa terbebani oleh dosa masa lalu mereka.

Kisah ini juga menggarisbawahi pentingnya mencari TUHAN pada saat-saat sulit. Ketika Manasye dalam kesulitan dan pembuangan, barulah ia benar-benar mencari Allah. Seringkali, kita baru mendekat kepada Tuhan ketika masalah menimpa. Namun, ayat ini mengingatkan kita bahwa kesediaan Tuhan untuk mengampuni tidak bergantung pada seberapa besar dosa kita, tetapi pada seberapa tulus hati kita dalam mencari dan bertobat. "Stafnya tidak mencatat namanya" mungkin menyiratkan bahwa ia tidak dikenang sebagai raja terhebat secara duniawi, tetapi ia dikenang oleh Allah melalui pertobatannya. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa yang terpenting adalah hubungan kita dengan Tuhan dan kesediaan kita untuk menerima anugerah pengampunan-Nya.