/* Bright Orange-Yellow */

2 Tawarikh 33 7: Batu Pemahat Rohani

"Dan ia meletakkan patung pahatan yang dibuatnya itu di rumah Allah, yang berfirman kepada Daud dan kepada Salomo, anaknya: Di rumah ini dan di Yerusalem, yang telah kupilih dari segala suku Israel, akan Kududuslah nama-Ku untuk selama-lamanya."

Kutipan dari 2 Tawarikh 33:7 ini membawa kita pada sebuah momen kelam dalam sejarah Israel, yaitu masa pemerintahan Raja Manasye. Ayat ini menggambarkan tindakan Manasye yang memasukkan patung pahatan ke dalam Bait Allah di Yerusalem. Perbuatan ini jelas merupakan sebuah pelanggaran serius terhadap hukum Allah dan menodai kesucian tempat ibadah yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi penyembahan kepada Tuhan semata. Bait Allah, simbol kehadiran Allah di tengah umat-Nya, dijadikan tempat bagi berhala-berhala asing, sebuah tindakan yang sangat menyinggung hati Tuhan.

Namun, di balik kegelapan tindakan Manasye tersebut, ada sebuah makna yang bisa kita renungkan lebih dalam, terutama bagi kehidupan rohani kita saat ini. Ayat ini dapat kita lihat sebagai sebuah peringatan keras tentang bahaya memasukkan "berhala" modern ke dalam hati dan kehidupan kita. Dalam konteks kekinian, "patung pahatan" tersebut bisa mewakili berbagai hal yang mengalihkan fokus kita dari Tuhan: obsesi pada materi, ketenaran, kekuasaan, hubungan yang tidak sehat, hiburan yang berlebihan, atau bahkan pemikiran dan pandangan dunia yang bertentangan dengan firman Tuhan. Ketika hal-hal ini mulai mengambil tempat sentral dalam hati kita, mereka menjadi berhala-berhala yang menggerogoti kesetiaan kita kepada Sang Pencipta.

Manasye, pada awalnya, adalah seorang raja yang melakukan banyak kejahatan di mata Tuhan. Ia mendirikan mezbah-mezbah bagi para dewa asing, mempersembahkan anak-anaknya sebagai korban, dan membiarkan penyembahan berhala merajalela. Namun, cerita Manasye tidak berakhir di titik ini. Kitab Tawarikh mencatat bahwa ketika ia mengalami kesukaran, ia merendahkan diri di hadapan Allah, berdoa, dan akhirnya bertobat. Allah mendengarkan doanya dan mengembalikannya ke takhtanya. Perubahan drastis ini menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun yang terlalu jauh dari jangkauan pengampunan Tuhan.

Oleh karena itu, ayat 2 Tawarikh 33:7, meskipun mencatat sebuah kesalahan besar, juga berfungsi sebagai landasan untuk memahami pentingnya menjaga kekudusan hati dan tempat kita dalam hubungan dengan Tuhan. Sama seperti Bait Allah yang kudus harus dijaga dari patung-patung berhala, demikian pula hati kita harus dijaga dari segala sesuatu yang dapat menghalangi hubungan intim kita dengan Allah. Mengakui kesalahan, merendahkan diri, dan mencari pengampunan adalah langkah-langkah kunci untuk "membersihkan" kembali bait rohani kita. Mari kita jadikan ayat ini sebagai pengingat untuk senantiasa memeriksa hati kita dan memastikan bahwa hanya Tuhan yang berhak atas tempat tertinggi di dalamnya. Jangan biarkan patung pahatan apa pun menggantikan Dia.