"Singa yang mengaum dan beruang yang lapar, demikianlah orang jahat memerintah orang lemah."
Amsal 28:15 memberikan gambaran yang kuat dan menggugah tentang konsekuensi dari kepemimpinan yang jahat. Perumpamaan menggunakan "singa yang mengaum dan beruang yang lapar" secara efektif menggambarkan sifat predator dan menindas dari mereka yang memerintah dengan kejam. Makhluk-makhluk ini tidak hanya kuat, tetapi juga didorong oleh kebutuhan yang mendesak dan insting bertahan hidup yang brutal, mencerminkan bagaimana penguasa yang jahat seringkali bertindak berdasarkan keserakahan, kekuasaan, dan penindasan tanpa belas kasihan.
Ketika gambaran ini diterapkan pada "orang lemah", ia menunjukkan betapa rapuh dan rentannya mereka di hadapan kekuatan yang menindas. Para lemah ini, yang mungkin kurang memiliki kekuatan, pengaruh, atau sumber daya, menjadi sasaran empuk bagi penguasa yang kejam. Mereka diperlakukan tidak lebih baik dari mangsa, di mana hak-hak mereka diabaikan, kebebasan mereka dibatasi, dan kesejahteraan mereka dikorbankan demi keuntungan atau kesenangan penguasa. Hal ini menciptakan suasana ketakutan, ketidakadilan, dan penderitaan yang merajalela di tengah masyarakat.
Kutipan ini bukan sekadar deskripsi, tetapi juga sebuah peringatan. Ia mengingatkan kita akan bahaya ketika kekuatan berada di tangan orang-orang yang tidak memiliki integritas, keadilan, atau belas kasih. Dalam berbagai konteks, baik itu dalam pemerintahan, organisasi, atau bahkan dalam keluarga, kepemimpinan yang buruk dapat menimbulkan kehancuran. Keadilan menjadi tawar-menawar, kebenaran dibengkokkan, dan mereka yang paling membutuhkan perlindungan justru menjadi korban.
Di sisi lain, ayat ini secara implisit menyoroti pentingnya kepemimpinan yang bijaksana dan adil. Pemimpin yang benar adalah mereka yang menjaga dan melindungi orang-orang yang lemah, bukan mengeksploitasinya. Mereka yang berpegang pada prinsip-prinsip moral dan etika akan memerintah dengan cara yang mengangkat, bukan merendahkan. Penting bagi masyarakat untuk mengenali tanda-tanda kepemimpinan yang berbahaya dan berupaya untuk mempromosikan pemerintahan yang didasarkan pada kebaikan dan keadilan.
Amsal ini, seperti banyak bagian lain dalam Kitab Amsal, seringkali dilihat dalam konteks hikmat ilahi. Meskipun menggambarkan realitas pahit penindasan, ia juga mengarahkan kita untuk mencari solusi yang lebih tinggi. Keinginan untuk hidup di bawah pemerintahan yang adil adalah kerinduan universal. Ketika kita menyaksikan ketidakadilan, kita diingatkan akan kebutuhan akan otoritas yang sempurna dan adil yang pada akhirnya akan memulihkan segala sesuatu. Kejahatan yang berkuasa adalah fenomena sementara, dan di balik kegelapan itu, ada harapan akan cahaya keadilan yang akan menang.
Oleh karena itu, Amsal 28:15 mengajak kita untuk merenungkan sifat kekuasaan, tanggung jawab, dan dampak tindakan kita terhadap orang lain. Ini adalah panggilan untuk berhati-hati dalam memilih pemimpin, untuk memperjuangkan keadilan di mana pun kita berada, dan untuk selalu mengharapkan pemerintahan yang pada akhirnya akan membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semua, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan. Keadilan yang sejati berlawanan dengan penindasan yang digambarkan seperti singa lapar dan beruang ganas.