"Pada waktu belum ada samudera raya aku telah lahir, pada waktu belum ada mata air yang penuh air."
Amsal 8:24 adalah sebuah ayat yang kaya makna, sering kali diinterpretasikan dalam konteks teologis dan filosofis tentang keberadaan kebijaksanaan ilahi. Ayat ini bukan sekadar pernyataan tentang waktu, melainkan sebuah penekanan pada sifat keabadian dan prabencana dari kebijaksanaan yang diwakili dalam kitab Amsal. Ketika Salomo, penulis utama kitab ini, berbicara tentang "pada waktu belum ada samudera raya aku telah lahir" dan "pada waktu belum ada mata air yang penuh air," ia sedang menarik sebuah paralel yang sangat kuat dengan penciptaan alam semesta itu sendiri.
Pernyataan ini menempatkan kebijaksanaan jauh sebelum momen penciptaan yang terlihat. Samudera raya dan mata air adalah simbol dari elemen-elemen dasar alam yang mewakili keluasan, kedalaman, dan sumber kehidupan. Dengan mengatakan bahwa kebijaksanaan sudah ada bahkan sebelum elemen-elemen ini ada, penulis ingin menyampaikan bahwa kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang muncul belakangan atau diciptakan bersamaan dengan dunia fisik. Sebaliknya, kebijaksanaan adalah sesuatu yang fundamental, yang mendahului segala sesuatu yang ada.
Dalam banyak tradisi keagamaan dan pemikiran, kebijaksanaan sering kali dikaitkan dengan Tuhan. Ayat ini memperkuat pandangan tersebut, menggambarkan kebijaksanaan sebagai suatu eksistensi yang menyertai Tuhan sejak kekal. Ini berarti bahwa ketika Tuhan merancang dan menciptakan alam semesta, kebijaksanaan adalah salah satu panduan utamanya. Pikirkanlah seperti seorang arsitek yang sebelum membangun sebuah gedung megah, ia telah memiliki cetak biru yang terperinci dan pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip konstruksi. Demikian pula, kebijaksanaan ilahi adalah cetak biru dan prinsip yang mendasari segala ciptaan.
Implikasi dari keabadian kebijaksanaan ini sangatlah luas. Ini menunjukkan bahwa tatanan alam semesta bukanlah kebetulan semata, melainkan hasil dari sebuah rancangan yang cerdas dan bijaksana. Setiap hukum fisika, setiap keseimbangan ekologis, setiap keindahan alam, semuanya mencerminkan prinsip-prinsip kebijaksanaan abadi. Dalam perspektif iman, ini memberikan dasar untuk memahami dunia kita sebagai tempat yang memiliki makna dan tujuan, bukan sekadar kekacauan acak.
Meskipun ayat ini berbicara tentang masa lalu yang sangat jauh, relevansinya tetap kuat di masa kini. Bagi banyak orang, ayat ini adalah pengingat bahwa ada sebuah tatanan yang lebih tinggi dan lebih bijaksana yang mengatur alam semesta. Di tengah kompleksitas dan tantangan kehidupan modern, mencari dan menerapkan kebijaksanaan menjadi semakin penting. Kebijaksanaan yang dimaksud di sini bukan sekadar pengetahuan intelektual, melainkan pemahaman mendalam tentang kebenaran, moralitas, dan cara menjalani hidup yang bermakna.
Amsal 8:24 mengundang kita untuk merenungkan sumber kebijaksanaan. Jika kebijaksanaan telah ada sejak sebelum dunia ini diciptakan, maka ia bukanlah sesuatu yang sepenuhnya diciptakan oleh manusia atau tergantung pada pengetahuan manusia. Ia adalah anugerah, sebuah prinsip ilahi yang dapat diakses oleh mereka yang mencarinya dengan sungguh-sungguh. Ayat ini memberikan landasan bagi pencarian makna hidup, motivasi untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral yang benar, dan keyakinan bahwa di balik segala sesuatu, ada sebuah kecerdasan dan rancangan yang luar biasa.