Ayub, dalam deritanya yang mendalam dan pertanyaan eksistensialnya, seringkali melontarkan perkataan yang begitu jujur dan menggugah. Ayat kedua dari pasal kedua belas ini, "Sesungguhnya, hanya kamu yang berakal budi, dan hikmat akan mati bersama-samamu," adalah sebuah pernyataan sarkastik yang dilontarkan kepada teman-temannya. Dalam konteks penderitaannya, Ayub merasa bahwa teman-temannya, meskipun mengaku bijaksana, justru tidak memahami kedalaman penderitaannya dan lebih banyak menawarkan nasihat yang klise. Ia seolah berkata, "Sungguh, kalianlah satu-satunya yang merasa punya akal, dan hikmat itu akan lenyap seketika jika kalian tiada."
Pernyataan Ayub ini bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah refleksi tajam tentang sifat kebijaksanaan itu sendiri. Ia menyoroti bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah sekadar tumpukan pengetahuan atau kemampuan berargumen, melainkan sesuatu yang teruji dalam situasi genting, yang mampu menghadirkan empati, pengertian, dan solusi yang mendalam. Teman-teman Ayub, dalam upaya mereka "menghibur" dan "menjelaskan" penderitaannya, justru semakin menambah beban Ayub dengan retorika kosong dan penghakiman terselubung.
Pertanyaan yang muncul dari pernyataan Ayub ini adalah: kapan kebijaksanaan sejati itu benar-benar teruji dan terbukti? Apakah ia hanya hadir di saat-saat nyaman dan damai, ketika kita mampu berdiskusi dengan tenang dan menganalisis masalah dari luar? Atau justru ia bersinar paling terang ketika kita dihadapkan pada ujian terberat, pada momen-momen ketika logika saja tidak lagi cukup untuk menuntun kita?
Ayub sepertinya mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati tidak lahir dari ruang hampa argumen, melainkan dari pengalaman hidup yang mendalam, dari perenungan atas penderitaan, dan dari kemampuan untuk melihat gambaran yang lebih besar. Ia membutuhkan kedalaman hati untuk merasakan, bukan hanya keluasan pikiran untuk menganalisis. Ketika seseorang dihadapkan pada kehancuran, kekecewaan, dan rasa sakit yang luar biasa, barulah ia akan menemukan apakah kebijaksanaan yang ia miliki adalah sesuatu yang substansial atau sekadar hiasan.
Terkadang, kita merasa sangat berilmu dan bijaksana, menganggap diri kita sebagai sumber kebenaran. Namun, Ayub mengingatkan kita akan bahaya kesombongan intelektual ini. Hikmat yang sejati tidak mengklaim dirinya sendiri secara eksklusif. Ia adalah anugerah yang harus terus diasah, diuji, dan direfleksikan melalui setiap langkah kehidupan, terutama di tengah badai. Kebijaksanaan yang sesungguhnya akan tetap teguh berdiri, bahkan ketika sang empunya sedang terpuruk, dan mampu memberikan cahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Kata-kata Ayub ini mengajak kita untuk merenungkan, apakah kebijaksanaan yang kita miliki hanyalah ucapan, ataukah ia adalah kekuatan yang hidup dan bekerja dalam diri kita, teruji dalam suka dan duka.