Ayub 12:20 - Kesetiaan di Tengah Cobaan

"Ia merampas kecerdasan para pembesar, dan menghilangkan akal budi orang bijak."

Kekuatan Hikmat

Ayat Ayub 12:20 menyentuh inti dari pengakuan Ayub tentang kedaulatan dan kuasa Allah yang tak terduga. Dalam konteks penderitaan hebat yang dialaminya, Ayub menyaksikan bagaimana Allah dapat membalikkan segala tatanan. Kata-kata ini bukan sekadar pengamatan pasif, melainkan sebuah pengakuan mendalam atas realitas ilahi yang seringkali melampaui pemahaman manusia. Ketika "para pembesar" kehilangan kecerdasan dan "orang bijak" kehilangan akal budi, ini menunjukkan betapa rapuhnya kebijaksanaan duniawi jika dibandingkan dengan kuasa Sang Pencipta.

Momen ini terjadi ketika Ayub sedang berdiskusi dengan teman-temannya, Elifas, Bildad, dan Zofar. Mereka mencoba menjelaskan penderitaan Ayub berdasarkan pemahaman teologis yang umum pada masa itu: bahwa penderitaan adalah hukuman langsung atas dosa. Namun, Ayub, dalam pengalamannya yang unik, merasakan bahwa kebenaran ilahi lebih kompleks. Ia melihat bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu, termasuk melucuti karunia akal dan hikmat dari mereka yang dianggap paling cerdas sekalipun. Ini bukan berarti Allah bersikap zalim, melainkan menunjukkan superioritas kekuasaan-Nya yang absolut.

Bagi kita yang hidup di masa kini, ayat ini bisa menjadi pengingat yang kuat. Di era informasi yang berlimpah, kita sering mengandalkan kecerdasan dan pengetahuan kita sendiri. Kita bangga dengan pencapaian intelektual, kemajuan teknologi, dan pemahaman ilmiah kita. Namun, Ayub 12:20 mengingatkan kita bahwa semua itu bisa saja dicabut oleh kuasa ilahi. Ada kalanya, dalam menghadapi ujian kehidupan yang berat, logika dan akal budi kita tampaknya tidak cukup untuk memberikan jawaban atau solusi. Di saat-saat seperti itulah, kita diingatkan untuk bersandar pada sesuatu yang lebih besar, yaitu iman dan penyerahan diri kepada kehendak Allah.

Fokus pada "kesetiaan di tengah cobaan" adalah kunci utama dalam memahami makna ayat ini. Meskipun Allah dapat mengambil kecerdasan, Ia juga menjanjikan bahwa Ia tidak akan pernah meninggalkan orang-orang yang setia kepada-Nya. Penderitaan Ayub, meskipun memahitkan, justru membawanya pada pemahaman yang lebih dalam tentang Allah. Ia belajar bahwa kebenaran sejati tidak selalu terletak pada kepandaian atau kekayaan, tetapi pada hubungan yang tulus dengan Sang Pencipta. Kehilangan kecerdasan duniawi justru bisa menjadi kesempatan untuk menemukan hikmat ilahi yang sejati, yang bersumber dari kepercayaan dan penyerahan diri.

Dalam situasi dunia yang penuh ketidakpastian dan perubahan cepat, mengandalkan kebijaksanaan manusia semata bisa sangat mengecewakan. Namun, ketika kita mengakui kedaulatan Allah dan menempatkan iman kita pada-Nya, kita menemukan sumber kekuatan dan ketenangan yang tak tergoyahkan. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan keterbatasan akal kita dan mengutamakan hubungan pribadi dengan Allah, yang hikmat-Nya jauh melampaui pemahaman kita. Ini adalah panggilan untuk tetap setia, bahkan ketika segala sesuatu di sekitar kita tampak terbalik dan membingungkan.