Ayub 15:10

Hikmat Sejati dan Kesombongan

"Baik orang tua maupun orang tua-tua pun ada di antara kami,
yang lebih tua dari ayahmu Usi."

Ayat dari Kitab Ayub, pasal 15 ayat 10, diucapkan oleh Elifas, salah satu teman Ayub. Dalam konteks percakapan yang penuh dengan perdebatan mengenai penderitaan Ayub, ayat ini diungkapkan sebagai bagian dari argumen Elifas yang berusaha meyakinkan Ayub bahwa penderitaannya pasti disebabkan oleh dosa yang tersembunyi. Elifas merujuk pada kebijaksanaan yang diwariskan dari para leluhur, termasuk orang-orang yang lebih tua dan lebih bijaksana daripada ayah Ayub sendiri, untuk memperkuat pandangannya.

Secara literal, ayat ini hanyalah sebuah pernyataan yang menegaskan keberadaan orang-orang tua yang bijaksana. Namun, maknanya meluas ketika kita memahami konteksnya. Elifas menggunakan otoritas pengalaman dan tradisi untuk menekan Ayub. Ia menyiratkan bahwa kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu dan generasi lebih dapat dipercaya daripada kesaksian atau pembelaan diri Ayub. Ini adalah sebuah strategi retorika untuk menegaskan bahwa pandangan Elifas dan teman-temannya lebih memiliki bobot dan kebenaran.

Di sini kita dapat melihat kontras antara keangkuhan dan kerendahan hati, antara kebijaksanaan yang sesungguhnya dan kesombongan yang menyamar sebagai hikmat. Para teman Ayub, termasuk Elifas, tampaknya yakin bahwa mereka memegang kebenaran mutlak. Mereka merasa bahwa pemahaman mereka tentang keadilan ilahi dan kausalitas dosa-penderitaan adalah final dan tidak dapat diganggu gugat. Kesombongan mereka terletak pada keyakinan diri yang berlebihan, yang membuat mereka tidak mampu melihat perspektif lain atau mempertimbangkan kemungkinan bahwa penderitaan Ayub mungkin memiliki alasan yang lebih dalam dan misterius di luar pemahaman manusia biasa.

Ayub sendiri, di sisi lain, terus menerus menyatakan ketidakbersalahannya sambil bergumul dengan pertanyaan mengapa ia harus menderita. Ia merasa tidak didengarkan dan disalahpahami oleh teman-temannya. Pergumulan Ayub adalah contoh klasik tentang bagaimana kesulitan hidup dapat memicu pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mendalam, dan bagaimana orang lain terkadang kesulitan untuk memberikan empati ketika mereka terperangkap dalam kerangka pemikiran yang kaku.

Ayat ini, meskipun singkat, mengingatkan kita akan pentingnya sikap rendah hati dalam mencari kebenaran. Kebijaksanaan sejati tidak datang dari klaim superioritas atau dari mengutip tradisi semata, tetapi dari keterbukaan untuk belajar, empati, dan kerelaan untuk bergumul dengan misteri kehidupan. Kesombongan, sebaliknya, sering kali menutup pintu bagi pemahaman yang lebih dalam dan menciptakan tembok pemisah antarmanusia. Dalam setiap percakapan, terutama yang melibatkan perbedaan pendapat atau kesulitan, marilah kita berusaha untuk mendengarkan dengan hati yang terbuka dan berbicara dengan semangat kerendahan hati, meneladani kebijaksanaan yang datang dari Sumber yang Maha Tinggi.

Kebijaksanaan Tulus Terbuka, Rendah Hati, Penuh Empati
Representasi visual dari semangat kebijaksanaan yang diajarkan.