Ayub 15:5 - Hikmat dan Peringatan yang Menguatkan

"Sesungguhnya, kelakuanmu membuat hikmatmu semakin jelas, dan engkau menguji perkataan bibirmu."

Dalam kitab Ayub, kita sering kali dihadapkan pada percakapan mendalam mengenai penderitaan, keadilan ilahi, dan kebijaksanaan. Salah satu ayat yang menarik perhatian adalah Ayub 15:5. Ayat ini diucapkan oleh Elifas, salah satu teman Ayub, dalam konteks dialog yang tegang dan penuh dengan berbagai pandangan. Meskipun diucapkan dalam situasi yang konfrontatif, ayat ini sebenarnya mengandung sebuah kebenaran yang universal dan dapat menjadi prinsip yang menguatkan bagi kita di masa kini.

Ayub 15:5 berbunyi, "Sesungguhnya, kelakuanmu membuat hikmatmu semakin jelas, dan engkau menguji perkataan bibirmu." Jika kita renungkan lebih dalam, kalimat ini menekankan hubungan erat antara tindakan (kelakuan) seseorang dengan kebijaksanaan yang ia tunjukkan, serta pentingnya menguji setiap perkataan yang keluar dari bibir. Ini bukanlah sekadar pengamatan pasif, melainkan sebuah pernyataan yang menyiratkan bahwa tindakan seseorang adalah cerminan sejatinya, dan bahwa ucapan haruslah melalui proses refleksi dan pertimbangan yang matang.

Pada bagian pertama, "kelakuanmu membuat hikmatmu semakin jelas," Elifas tampaknya ingin mengatakan bahwa perilaku Ayub, dalam menghadapi penderitaannya, seharusnya mencerminkan hikmat yang sejati. Dalam pandangan Elifas, hikmat seharusnya terwujud dalam penerimaan yang pasrah dan pengakuan dosa. Namun, terlepas dari interpretasi Elifas pada konteks aslinya, prinsip dasarnya tetap berlaku: tindakan kita adalah bukti nyata dari apa yang ada di dalam diri kita, termasuk kebijaksanaan kita. Orang yang bijaksana tidak hanya berbicara tentang kebaikan, tetapi juga melakukannya. Tindakan yang konsisten dengan nilai-nilai luhur, kejujuran, integritas, dan kasih, adalah indikator kuat dari adanya hikmat sejati. Sebaliknya, tindakan yang penuh kepura-puraan, kecurangan, atau kebencian, akan menyingkap ketidakbijaksanaan seseorang, betapapun pandai ia berbicara.

Bagian kedua, "dan engkau menguji perkataan bibirmu," menyoroti pentingnya pengendalian diri dalam berbicara. Di era informasi yang serba cepat ini, kita seringkali tergoda untuk berbicara atau berkomentar tanpa pikir panjang. Namun, ayat ini mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, merenungkan, dan "menguji" setiap kata sebelum diucapkan. Pengujian ini mencakup pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah perkataan ini benar? Apakah bermanfaat? Apakah akan membangun atau merusak? Apakah sesuai dengan kasih dan kebenaran? Kemampuan untuk menahan diri dari perkataan yang sembrono, menyakitkan, atau tidak membangun adalah tanda kedewasaan rohani dan kebijaksanaan. Ini bukan berarti menahan diri dari berbicara sama sekali, melainkan berbicara dengan kesadaran penuh akan dampaknya.

Ayat ini, meskipun berasal dari percakapan yang penuh perbedaan pendapat, menawarkan sebuah pelajaran berharga. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terus-menerus dihadapkan pada situasi di mana kita perlu menunjukkan hikmat melalui tindakan dan perkataan kita. Memastikan bahwa kelakuan kita konsisten dengan prinsip-prinsip yang baik dan bahwa setiap perkataan yang kita ucapkan telah diuji, akan membantu kita membangun reputasi yang baik, hubungan yang sehat, dan pada akhirnya, menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan berkenan.

Dengan mempraktikkan prinsip ini, kita dapat mengarahkan diri kita untuk menjadi pribadi yang perkataannya selalu membangun dan tindakannya selalu mencerminkan kebaikan. Ini adalah undangan untuk terus-menerus mengevaluasi diri, memperbaiki cara kita bertindak dan berbicara, sehingga hikmat yang kita miliki benar-benar terwujud dalam setiap aspek kehidupan kita.