"Karena itu, aku menjadi pokok penderitaan bagi sesamaku, dan aku menjadi bahan tertawaan mereka."
Penggalan ayat dari kitab Ayub ini menggambarkan sebuah titik terendah dalam kehidupan Ayub. Ia merasa dikucilkan, menjadi objek kebencian dan ejekan dari orang-orang di sekitarnya. Dalam penderitaannya yang luar biasa, Ayub merasa dirinya bukan lagi sekadar individu yang sedang mengalami kesulitan, tetapi justru menjadi "pokok penderitaan" – sumber dari semua kesialan yang dirasakan oleh komunitasnya, dan bahkan menjadi bahan tertawaan.
Kondisi ini sangat berat. Bayangkanlah, ketika seseorang sedang bergumul dengan ujian hidup yang tak terperi, ia justru berhadapan dengan penolakan dan perundungan dari sesama. Ini adalah gambaran ironis dari bagaimana masyarakat terkadang bereaksi terhadap orang yang sedang dilanda musibah. Alih-alih memberikan dukungan dan empati, mereka justru menjauh, bahkan menjadikan penderitaan orang lain sebagai hiburan semu. Ayub, dalam kesendiriannya, merasakannya dengan sangat dalam.
Namun, di balik kepedihan itu, Kitab Ayub kaya akan pelajaran tentang ketekunan, iman, dan keadilan ilahi. Ayat ini, meskipun menunjukkan kerapuhan Ayub, tidaklah menjadi akhir dari ceritanya. Justru, melalui dialog dan perenungan yang panjang, Ayub terus mencari jawaban, terus berpegang pada keyakinannya bahwa ada keadilan yang lebih tinggi, bahkan ketika pandangannya terhadap kehidupan tergoncang hebat.
Dalam konteks kehidupan modern, seringkali kita menyaksikan bagaimana orang yang berbeda, yang dianggap aneh, atau yang sedang mengalami masalah, justru dijauhi atau bahkan dibully. Perilaku semacam ini sangat merusak dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya mengedepankan kasih sayang dan saling menguatkan. Ayat Ayub ini menjadi pengingat yang kuat bagi kita untuk lebih berempati, lebih peduli, dan tidak menjadikan penderitaan orang lain sebagai tontonan atau bahan olokan.
Lebih dari itu, Ayub 17:7 mengajarkan bahwa bahkan di tengah kondisi terburuk sekalipun, ketika dunia seolah berbalik melawan, harapan dapat tetap dijaga. Ayub sendiri, dalam bagian lain dari kitabnya, mengungkapkan keyakinannya akan adanya Penebus yang hidup, yang pada akhirnya akan membela dan membenarkannya. Ini adalah inti dari keteguhan iman: berpegang pada kebenaran dan keadilan ilahi, meskipun realitas di depan mata terasa sangat kelam. Mengingat kembali kisah Ayub, kita diajak untuk merenungkan kekuatan iman yang mampu bertahan di tengah badai, dan pentingnya membangun masyarakat yang lebih welas asih dan suportif bagi sesama yang sedang berjuang.