"...Siapakah aku, sehingga aku merasa ngeri?" (Ayub 9:34)
Kitab Ayub adalah sebuah perjalanan emosional dan teologis yang mendalam, membawa kita pada pergulatan seorang pria saleh yang dihadapkan pada penderitaan luar biasa. Pasal 18 dan 19 menyajikan momen krusial dalam percakapan antara Ayub dan sahabat-sahabatnya, di mana tudingan, kesalahpahaman, dan rasa sakit pribadi saling bersahutan. Pasal-pasal ini bukan hanya sekadar narasi tentang penderitaan, tetapi juga sebuah refleksi tentang sifat keadilan, ketidakadilan, dan pencarian makna di balik malapetaka.
Dalam Ayub pasal 18, kita mendengar suara Bildad orang Syuh, salah satu sahabat Ayub. Bildad dengan tegas berargumentasi bahwa penderitaan Ayub pasti disebabkan oleh dosa. Ia menggambarkan nasib orang fasik dengan gambaran yang suram dan penuh kengerian, seolah-olah untuk menegaskan bahwa Ayub telah melakukan kesalahan besar yang membuatnya pantas menerima hukuman tersebut. Bildad melukiskan gambaran kehancuran yang akan menimpa keluarga dan harta benda orang yang berbuat dosa, menyiratkan bahwa Ayub adalah contoh nyata dari gambaran tersebut.
Namun, Ayub tidak tinggal diam. Ayub pasal 19 adalah respons Ayub yang penuh dengan rasa sakit, kemarahan, dan yang terpenting, kesetiaan yang teguh. Ia mengeluhkan perlakuan buruk dari teman-temannya yang seharusnya memberikan penghiburan, tetapi malah menambah lukanya. Ayub merasa ditinggalkan oleh Tuhan dan dikhianati oleh orang-orang terdekatnya. Ia menggambarkan penderitaannya sebagai luka yang mendalam, di mana setiap orang menjauhinya, bahkan sanak saudaranya.
Bagian yang paling menginspirasi dari pasal 19 adalah pengakuan Ayub akan imannya yang masih teguh pada Sang Penebus. Di tengah keputusasaan, Ayub menyatakan keyakinannya bahwa ada Penebus yang hidup dan pada akhirnya akan berdiri di atas bumi. Pengakuan ini melampaui pemahaman teologis sahabat-sahabatnya yang kaku. Ayub tidak hanya berfokus pada kehancuran duniawi, tetapi melihat melampaui penderitaannya, memegang teguh harapan akan keadilan ilahi yang akan datang. Ia percaya bahwa meskipun tubuhnya akan hancur, jiwanya akan diperhitungkan.
Pergumulan dalam Ayub 18-19 mengajarkan kita beberapa hal penting. Pertama, penderitaan seringkali disertai dengan kesalahpahaman dan penghakiman dari orang lain. Sahabat-sahabat Ayub berasumsi bahwa penderitaan adalah tanda murka Allah, sebuah pandangan yang terlalu simplistis. Kedua, iman sejati diuji dalam situasi paling sulit. Meskipun Ayub berteriak dalam kesakitan dan mempertanyakan banyak hal, ia tidak pernah secara total melepaskan imannya. Ketiga, pentingnya memiliki harapan yang melampaui kondisi saat ini. Pengakuan Ayub tentang Penebusnya memberikan perspektif yang lebih luas dan abadi terhadap penderitaan sementara.
Dalam konteks modern, kita pun sering dihadapkan pada situasi serupa. Ketika seseorang mengalami musibah, reaksi pertama seringkali adalah mencari "kesalahan" atau "dosa" yang mungkin telah dilakukan. Kitab Ayub mengingatkan kita untuk lebih berempati, mendengarkan, dan tidak terburu-buru menghakimi. Kesaksian Ayub dalam pasal 19, meskipun terdengar putus asa di satu sisi, pada akhirnya adalah seruan optimisme di tengah kegelapan. Ia menggarisbawahi bahwa bahkan ketika semua harapan duniawi tampak sirna, harapan spiritual dan iman pada keadilan ilahi dapat menjadi jangkar yang kokoh. Cerita Ayub 18-19 adalah pengingat bahwa kebenaran seringkali lebih kompleks dari sekadar asumsi sederhana, dan bahwa harapan dapat ditemukan bahkan dalam jurang keputusasaan.