"Aku memanggil hamba-Ku, dan Ia menjawab; Aku memanggil Allah, dan Ia akan menjawab."
Ayat Ayub 19:16 adalah sebuah pernyataan iman yang kuat di tengah badai penderitaan. Ayub, yang telah kehilangan segalanya, dari harta benda hingga kesehatannya, bahkan dikhianati oleh orang-orang terdekatnya, mengungkapkan sebuah keyakinan mendalam. Dalam penderitaannya yang luar biasa, ia tahu bahwa ada satu Pihak yang selalu dapat diandalkan, yaitu Allah. Frasa "Aku memanggil hamba-Ku, dan Ia menjawab" bisa diinterpretasikan dalam berbagai cara, namun dalam konteks penderitaan Ayub, ini menunjukkan sebuah hubungan yang unik dan personal. Ia merasa memiliki koneksi yang begitu erat dengan Sang Pencipta, seolah-olah Tuhan adalah sesosok "hamba" yang setia, selalu siaga mendengarkan panggilannya.
Namun, penegasan yang lebih kuat datang pada bagian kedua ayat ini: "Aku memanggil Allah, dan Ia akan menjawab." Di sini, Ayub secara eksplisit menujukan panggilannya kepada Allah Yang Mahakuasa. Pernyataan ini bukan sekadar harapan kosong, melainkan sebuah pengakuan yang diwarnai oleh pengalaman hidupnya. Meskipun segala sesuatu di sekitarnya runtuh, keyakinannya pada respons ilahi tidak goyah. Ini mengajarkan kepada kita sebuah kebenaran fundamental: ketika kita merasa paling sendirian, ketika suara-suara dunia terdengar begitu memekakkan telinga, ada satu suara yang selalu siap mendengarkan, yaitu suara Allah.
Konteks penderitaan Ayub sering kali diasosiasikan dengan ketidakpahaman. Ia bergumul, mempertanyakan mengapa penderitaan sebesar ini menimpanya. Dalam pergumulan tersebut, ayat ini menjadi mercusuar harapan. Ia tidak mengandalkan hikmat manusia atau kekuatan diri sendiri untuk keluar dari kesulitannya. Sebaliknya, ia berpaling kepada Sumber segala sumber, Sang Pemberi jawaban. Ayat ini berbicara tentang keintiman hubungan dan jaminan bahwa doa kita tidak akan pernah sia-sia.
Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan penuh distraksi, seringkali kita merasa sulit untuk "mendengar" jawaban Tuhan di tengah kebisingan. Namun, ayat ini mengingatkan kita untuk tetap teguh dalam iman, memanggil kepada-Nya, dan percaya bahwa Ia akan memberikan jawaban dalam cara dan waktu-Nya yang sempurna. Jawaban tersebut bisa datang dalam bentuk kelegaan, pemahaman baru, kekuatan untuk bertahan, atau bahkan ketenangan di tengah badai. Kasih sayang Tuhan, sebagaimana terlukis dalam janji-Nya untuk menjawab, adalah jangkar yang kokoh bagi jiwa yang dilanda gelombang kehidupan.
Mengalami penderitaan seperti Ayub mungkin terasa mustahil bagi banyak orang, tetapi prinsip di balik ayat ini berlaku universal. Kita semua menghadapi tantangan, kegagalan, dan masa-masa keraguan. Dalam momen-momen seperti itulah, memanggil Allah, dengan keyakinan bahwa Ia akan menjawab, menjadi sumber kekuatan yang tak ternilai. Ini adalah pengingat bahwa kita tidak pernah benar-benar sendirian dalam perjuangan kita.