Ayub 20:9

"Ia akan lenyap, dan tiada seorang pun akan mengenalnya lagi; ia akan musnah dari muka bumi, dan namanya tak akan diingat lagi."

Kutipan dari Kitab Ayub ini, tepatnya pada pasal 20 ayat 9, seringkali terdengar suram. Ia berbicara tentang kehancuran total, tentang sebuah keberadaan yang bahkan tidak meninggalkan jejak apa pun setelah lenyap. Bagi sebagian orang, ayat ini mungkin memunculkan perasaan ketakutan akan lupa, atau bahkan keputusasaan. Namun, jika kita merenungkannya lebih dalam, ada nuansa lain yang bisa kita tangkap, sebuah refleksi tentang kekuatan tersembunyi dalam kehidupan yang sementara.

Ayat ini menggambarkan nasib orang fasik. Dalam konteks Ayub, ini adalah sebuah perenungan tentang bagaimana kejahatan, pada akhirnya, akan menemui ajalnya sendiri. Tidak peduli seberapa besar kekuasaan atau kekayaan yang dikumpulkan oleh orang yang berbuat jahat, semua itu akan lenyap bagaikan asap. Kenyataannya, ajaran moral yang terkandung di dalamnya adalah bahwa kebaikanlah yang akan bertahan, sementara kezaliman akan hilang dimakan waktu.

Namun, mari kita pindahkan fokus sejenak. Bagaimana jika kita melihatnya bukan hanya sebagai takdir orang jahat, tetapi sebagai pengingat akan sifat fana dari segala sesuatu di dunia ini? Semua yang kita miliki, semua pencapaian kita, bahkan eksistensi fisik kita, pada akhirnya akan berlalu. Ayub 20:9 mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia materi ini. Segala sesuatu memiliki permulaan dan akhir.

Menerima sifat sementara ini bisa menjadi sumber kekuatan tersendiri. Jika kita sadar bahwa segala sesuatu akan berlalu, kita mungkin akan lebih menghargai momen-momen yang ada. Kita akan lebih fokus pada apa yang benar-benar penting, bukan pada hal-hal yang sekadar mengejar pengakuan duniawi yang cepat pudar. Kekuatan tersembunyi dari ayat ini terletak pada kemampuannya untuk membebaskan kita dari keterikatan yang berlebihan pada hal-hal yang fana.

Ketika kita merasa cemas tentang bagaimana kita akan dikenang, atau takut jika usaha kita tidak akan diingat, ayat ini bisa menjadi penyejuk. Ia mengajarkan bahwa nilai sejati kita tidak terletak pada abadian nama kita di dunia ini, melainkan pada tindakan kita saat ini, pada kebaikan yang kita sebarkan, dan pada pertumbuhan spiritual yang kita alami. Kehidupan yang bermakna tidak selalu diukur dari seberapa lama kita dikenang, tetapi dari seberapa dalam kita hidup.

Perenungan ini juga bisa mendorong kita untuk berfokus pada warisan yang lebih substansial: nilai-nilai, ajaran, dan cinta yang kita berikan kepada orang lain. Warisan semacam ini, meskipun tidak selalu terukir dalam prasasti abadi, akan terus hidup dalam hati dan pikiran mereka yang pernah kita sentuh. Ayub 20:9, pada akhirnya, mengajak kita untuk tidak terlalu khawatir tentang "lenyap", tetapi lebih fokus pada "hidup" dengan penuh makna di setiap momen yang diberikan.

Jadi, ketika kita merenungkan Ayub 20:9, mari kita lihat bukan hanya akhir yang suram, tetapi juga pelajaran tentang nilai kehidupan, tentang ketidakabadian segala sesuatu, dan tentang kekuatan untuk hidup dengan prinsip yang benar. Kita mungkin akan lenyap dari ingatan duniawi, tetapi apa yang telah kita tanam dalam kebaikan akan terus bersemi, tak lekang oleh waktu.