Ayub 22:15

"Mahukah engkau tetap berpegang pada jalan yang ditempuh orang fasik, yang melintasi jalan yang aman?"

Simbol jalan terbentang dengan dua arah, satu terang dan satu gelap

Dalam lembaran Kitab Ayub, kita menemukan dialog yang mendalam dan seringkali penuh pergolakan, salah satunya adalah ungkapan Ayub kepada teman-temannya yang mencoba menafsirkan penderitaannya. Di pasal 22, ayat 15, kita disuguhkan sebuah pertanyaan retoris yang menggugah: "Mahukah engkau tetap berpegang pada jalan yang ditempuh orang fasik, yang melintasi jalan yang aman?" Pertanyaan ini bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah teguran sekaligus ajakan untuk merenungkan pilihan hidup yang kita ambil.

Jalan yang ditempuh orang fasik seringkali digambarkan sebagai jalan yang terlihat mudah dan menawarkan kepuasan sesaat. Mungkin terlihat menggiurkan dengan segala kemudahan dan keuntungan duniawi yang ditawarkannya. Namun, seperti yang tersirat dalam ayat tersebut, jalan ini adalah jalan yang berisiko, jalan yang tidak aman, bahkan berpotensi menuju kehancuran. Barrat sebuah jalan yang terlihat datar namun ternyata menuju jurang yang terjal, kenikmatan sesaat dapat berujung pada penyesalan yang panjang.

Sebaliknya, "jalan yang aman" yang disebutkan dalam ayat ini merujuk pada jalan yang diperkenan oleh Tuhan. Jalan ini mungkin tidak selalu mudah, bahkan seringkali menuntut pengorbanan, kesabaran, dan ketaatan. Namun, di balik kesulitan tersebut, tersembunyi kepastian dan kedamaian abadi. Ini adalah jalan kebenaran, jalan yang dibangun di atas prinsip-prinsip ilahi, yang pada akhirnya akan membawa pada keselamatan dan berkat yang sesungguhnya.

Dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat dan penuh godaan, pertanyaan Ayub menjadi semakin relevan. Kita sering dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Antara kejujuran yang mungkin merugikan dalam jangka pendek, atau ketidakjujuran yang menawarkan keuntungan instan. Antara mempertahankan integritas pribadi di tengah tekanan, atau berkompromi demi kenyamanan. Manakah yang kita pilih? Apakah kita tergoda untuk mengikuti arus popularitas yang justru menjauhkan kita dari prinsip kebaikan?

Menjauhi jalan orang fasik bukanlah berarti mengisolasi diri dari dunia. Melainkan, memilih untuk hidup dengan kesadaran moral dan spiritual yang tinggi. Ini berarti menolak godaan untuk menempuh jalan pintas yang merusak, bahkan ketika jalan tersebut terlihat ramai dan menguntungkan. Kita diajak untuk berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kasih, meskipun itu berarti menghadapi tantangan dan rintangan.

Ayub 22:15 mengingatkan kita bahwa ada konsekuensi dari setiap pilihan jalan yang kita ambil. Jalan orang fasik mungkin tampak menarik, namun fondasinya rapuh dan akhirnya akan runtuh. Sedangkan jalan yang aman, meskipun menanjak, memiliki pijakan yang kokoh dan berujung pada tujuan yang mulia. Marilah kita senantiasa merenungkan pilihan-pilihan kita, dan bertekad untuk menapaki jalan yang telah teruji oleh waktu dan kebenaran ilahi, demi kehidupan yang penuh makna dan berkat.