"Bukankah kami membakar korban bagi Ratu Langit dan mempersembahkan persembahan minuman kepada dia, atas kehendak kami sendiri, seperti yang telah dilakukan oleh raja-raja kami dan para pembesar kami, di kota-kota Yehuda dan di jalan-jalan Yerusalem, pada waktu kami punya makanan yang cukup, dan kami merasa baik-baik saja?"
Ayat Yeremia 44:19 ini diucapkan oleh sekelompok wanita Yahudi yang telah melarikan diri ke Mesir setelah kehancuran Yerusalem. Mereka menyampaikan argumen kepada nabi Yeremia, mencoba membenarkan tindakan mereka yang terus menerus melakukan penyembahan kepada "Ratu Langit" serta mempersembahkan korban dan persembahan minuman kepada patung-patung tersebut. Pernyataan mereka ini bukan hanya sekadar pembelaan diri, melainkan juga merupakan pengakuan jujur tentang praktik keagamaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan mereka.
Dalam konteks sejarah Israel kuno, penyembahan kepada "Ratu Langit" merujuk pada pemujaan dewi asing, kemungkinan besar Ishtar (dalam tradisi Babilonia) atau Astarte (dalam tradisi Kanaan). Praktik ini sering kali dikaitkan dengan kesuburan, kelahiran, dan kekayaan. Sayangnya, pemujaan dewi-dewi ini sering kali bercampur dengan praktik-praktik penyembahan berhala yang dilarang keras oleh Taurat Musa. Bangsa Israel telah berulang kali diperingatkan oleh para nabi, termasuk Yeremia sendiri, untuk menjauhi penyembahan berhala dan kembali kepada satu-satunya Allah yang benar.
Wanita-wanita ini secara spesifik mengklaim bahwa mereka melakukan ritual tersebut atas kehendak mereka sendiri, dan bahwa praktik ini juga telah dilakukan oleh leluhur mereka, termasuk raja-raja dan para pembesar Yehuda. Klaim ini menyiratkan sebuah tradisi yang panjang dan bahkan dianggap sebagai norma sosial yang dapat diterima dalam masyarakat mereka. Mereka juga berargumen bahwa ketika mereka masih melakukan praktik-praktik ini, kehidupan mereka tampaknya lebih baik dan berkecukupan secara materi. Hal ini menunjukkan bagaimana pemujaan berhala sering kali dikaitkan dengan harapan akan kemakmuran duniawi.
Namun, Yeremia, yang berbicara atas nama TUHAN, melihat situasi ini dengan perspektif yang sangat berbeda. Bagi Tuhan, kesetiaan dan ketaatan kepada perjanjian adalah yang terpenting. Penyembahan kepada berhala, terlepas dari seberapa umum atau membudayanya praktik tersebut, adalah bentuk pengkhianatan terhadap Tuhan yang telah memilih dan menyelamatkan umat-Nya. Tuhan melihat tindakan mereka bukan sebagai ekspresi keyakinan yang tulus, melainkan sebagai penolakan terhadap kasih karunia-Nya dan pengabaian terhadap peringatan-Nya.
Ucapan para wanita ini menyoroti betapa sulitnya melepaskan praktik keagamaan yang sudah tertanam kuat, terutama ketika praktik tersebut memberikan rasa aman, identitas, atau bahkan janji-janji kemakmuran. Mereka memilih untuk menyalahkan malapetaka yang menimpa mereka pada ketiadaan pengorbanan kepada Ratu Langit, daripada mengakui bahwa kehancuran Yerusalem adalah konsekuensi dari ketidaktaatan mereka sendiri terhadap firman Tuhan. Ini adalah pengingat yang kuat tentang bahaya penafsiran ulang ajaran ilahi demi kenyamanan pribadi atau tradisi yang salah. Kebenaran ilahi sering kali menuntut kita untuk mengorbankan kenyamanan dan tradisi lama demi ketaatan yang murni kepada Tuhan.