Ayub 22:5

Apakah hikmatmu tidak dapat membuatmu bertindak dengan bijaksana terhadap Allah?

"Apakah hikmatmu tidak dapat membuatmu bertindak dengan bijaksana terhadap Allah? Jika demikian, maka kamu akan ditundukkan." (Ayub 22:5)
Hikmat Allah Bijaksana

Ilustrasi visual tentang bagaimana hikmat yang dimiliki seseorang seharusnya menuntunnya untuk bertindak bijaksana di hadapan Allah.

Ayat ini berasal dari Kitab Ayub, yang membahas tentang penderitaan seorang hamba Allah yang saleh. Dalam percakapannya dengan teman-temannya, Ayub mencoba memahami alasan di balik kesengsaraannya yang luar biasa. Teman-temannya, terutama Elifaz, Bildad, dan Zofar, cenderung berargumen bahwa penderitaan Ayub pasti disebabkan oleh dosa-dosanya yang tersembunyi.

Dalam konteks Ayub 22:5, Elifaz secara spesifik mengajukan pertanyaan retoris yang menantang Ayub. Ia menyiratkan bahwa jika Ayub benar-benar memiliki hikmat sejati, hikmat itu seharusnya membimbingnya untuk memahami kebenaran tentang kesucian dan keadilan Allah. Pertanyaan ini bukan sekadar tentang pengetahuan intelektual, tetapi lebih kepada aplikasi praktis dari pemahaman tersebut dalam relasi seseorang dengan Sang Pencipta. Bertindak bijaksana terhadap Allah berarti menyadari posisi diri di hadapan-Nya, mengakui otoritas-Nya, dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Kegagalan untuk bertindak demikian, menurut argumen Elifaz, adalah penyebab utama kemalangan.

Pesan dari ayat ini melampaui konteks percakapan kuno. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya kebijaksanaan yang berakar pada pengenalan akan Tuhan. Hikmat sejati bukanlah sekadar kecerdasan atau kemampuan berpikir logis semata. Ia adalah pemahaman yang mendalam tentang kebenaran ilahi yang memengaruhi cara kita melihat dunia, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan sesama, terlebih lagi dengan Allah. Jika hikmat kita tidak membuat kita semakin mendekat kepada-Nya, semakin menghormati-Nya, dan semakin hidup dalam ketaatan kepada-Nya, maka ada sesuatu yang keliru dengan hikmat tersebut.

Perikop ini juga menyoroti bagaimana manusia sering kali cenderung menilai orang lain berdasarkan standar mereka sendiri, bahkan ketika berhadapan dengan kesengsaraan. Elifaz, dalam upayanya "membantu" Ayub, justru menambah beban penderitaan dengan tuduhan terselubung. Namun, di balik argumen Elifaz, tersirat kebenaran universal: relasi yang benar dengan Allah adalah fondasi kehidupan yang kokoh. Kehidupan yang tidak menghargai kebesaran dan kekudusan-Nya, betapapun terlihat "bijaksana" di mata dunia, pada akhirnya akan menemukan dirinya dalam posisi yang rentan dan tidak stabil.

Oleh karena itu, Ayub 22:5 mengundang kita untuk merefleksikan kedalaman hikmat yang kita miliki. Apakah hikmat tersebut mengarahkan kita pada kesadaran akan keagungan Allah dan membantu kita hidup dengan cara yang berkenan kepada-Nya? Apakah ia mendorong kita untuk bersikap rendah hati, beriman, dan taat? Jika jawabannya tidak, maka kita perlu mempertimbangkan kembali sumber dan tujuan dari hikmat yang kita pegang. Ketakutan akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan (Amsal 1:7), dan kebijaksanaan sejati selalu melibatkan pengakuan dan penghormatan terhadap ayub 22 5 serta kebaikan ilahi yang tak terbatas.